Sabtu, 01 Desember 2007

Satu Pria Dua Wanita (8)

Rihab kembali kekamarnya dan bertekad untuk menghentikan sandiwara memalukan itu. Ia harus menanggung segala risiko yang kan terjadi , apapun itu, serta akan menghadapi kenyataan dengan berbagai kemungkinannya. Karena itu, ia langsung mengambil pulpen untuk menulis. Namun, ia berhenti dan melemparkan pulpen itu kelantai, sambil menyeka muka dan bangkit berdiri, seraya berkata, "Mulai hari ini, aku takkan menulis dengan pulpen ini selamanya. Inilah pulpen yang telah dikotori oleh kata-kata khianat."
Kemudian, ia pergi mengambil pulpen baru dan bersiap untuk menulis dengannya lembaran-lembaran baru dari kehidupannya yang baru pula. Ia menulis surat untuk Musthafa:
Dengan nama Allah yang Mahakasih dan Mahasayang
Yang dimuliakan dan dihormati, Ustadz Musthafa
Aku tak tahu dari mana kuharus memulai surat ini. Sebab, ini merupakan surat pertamaku yang kutulis untukmu!
Ya, betapa malunya diriku menulisnya. Namun, diriku yang terlahir kembali ditanganmu dan usia baruku yang telah kau anugerahkan melalui bimbingan-bimbinganmu, menjadikanku yakin bahwa menanggung malu adalah lebih baik ketimbang menanggung api neraka. Dan, rasa malu didunia ini lebih ringan dibanding rasa malu dihadapan Allah yang Mahaesa dan Mahakuasa.
Inilah yang mendorongku menulis surat ini, menjelaskan keadaan-keadaan yang sebenarnya dengan sejelas-jelasnya, setelah selama ini kututupi. semoga pengakuanku yang tulus ini merupakan bukti penyesalan atas perbuatanku yang lalu dan merupakan tobatku kepada Allah SWT atas dosa-dosa yang telah kulakukan.
Sekarang, inilah hakikatku sebenarnya...wahai tuanku Musthafa! Pertama, engkau pasti akan bingung, keudian gembira, lalu engkau akan dendam padaku. Namun, yang terpenting adalah aku telah menjalankan kewajibanku dihadapan Tuhanku dan dihadapanmu, juga dihadapan hatiku yang enggan untuk berdamai denganku bila aku tidak mengakuinya.
Terus terang...aku mengaku, sungguh akulah yang menulis surat ini dan yang telah menulis surat-surat kepadamu sejak kali pertama untuk menjawab suratmu yang pertama, wahai Musthafa...
Aku adalah Rihab, adik Hasanah! Dan belum pernah sekalipun Hasanah menulis seperti apa yang aku tulisitu. Sebab, tidak ada sedikitpun keraguan padanya seperti keraguanku.
Ya, dia adlah perempuan mukmin yang suci, bagaikan malaikat. Ia cantik laksana bidadri. Karena itu, bagaimana mungkin ia dapat menulis seperti tulisan-tulisanku itu? Ya...benar! Akulah yang sebelumnya hidup dalam kesesatan. Akulah yang tadinya telah ditaklukkan oleh setan yang telah membuatku lalai. Aku juga telah dikalahkan oleh hawa nafsuku yang sesat, sehingga membuatku sesat, mengotori jiwaku, dan mencemarkan pelajaran-peajaran baik yang ada dihatiku.
Itu jugalah yang mendorongku untuk cemburu dan iri, lantas aku berpura-pura menjadi Hasanah, hingga aku menulis surat-surat yang telah engkau terima itu. Akulah yang menyebabkanmu terputus darinya. Ketahuilah, itulah yang sangat merugikan kakakku. Namun, aku telah terdorong oleh kesesatan, sehingga aku menulis surat-surat itu dan aku menggunakan alamat temanku agar surat-suratmu tak sampai kerumah dan tak diterima Hasanah.
Kemudian, engkau menulis surat untukku, yang menyingkapkan dari pandanganku tabir tipu daya dan kesesatan. Setiap kali aku melangkahkan kakiku kearah kebajikan, hatiku terasa pedih dan pedih lagi. Betapa lamanya aku berjalan dijalan nan gelap ini dan merampas kehidupan yang bahagia dari kalian berdua, Namun, aku merasa perlu untuk mendapatkan bimbingan-bimbingan dan petunjuk-petunjukmu.
Oleh karena itu, aku terus mengikuti langkahku, menelusuri jalan yang menyimpang dan berbahaya ini, demi meraih sumber cahaya yang telah kau anugerahkan padaku. Aku lihat Hasanah yang sedang menderita dan tersiksa lantaran tak memperoleh berita darimu. Itu menambah penderitaan diatas penderitaanku.
Ya, Hasanah... alangkah terharunya engkau bila melihat keadaannya. Hasanah... saat aku bekerja untuk menghancurkan kebahagiaannya, ia tetap gembira setiap kali melihatku membaca buku, atau melihatku mulai melangkah kearah kebaikan. Ia mencintaiku dan mendekatiku dengan genbira tatkala aku kembali menggapai keimanan. Ia tak tahu, kembalinya aku ini telah mengorbankan kesenangan dan kebahagiaannya.
Jangan kau pikir, aku memujinya lantaran ia adalah kakakku, Tidak, memang benar ia kakakku, namun aku tidak mencintainya ketika itu, karena aku bukanlah permatanya yang berharga. Namun, aku telah mengenal hakikatnya sebelum aku mulai memujinya. Terakhir kali, aku mengirimkan fotonya. Apakah engkau tak melihat kecantikannya? Tidakkah ia begitu menawan? Tetapi engkau tidak menyebut tentang foto itu dalam surat-suratmu kemudian. Karena engkau tidak ingin melihat seseorang dari kecantikan fisiknya saja selama engkau masih ragu akan kesucian-kesucian yang sangat penting padanya. Oleh karena itu, engkau lupa menyebut tentang foto itu. Adapun fotomu, wahai Musthafa yang mulia, tidakkah engkau tahu bahwa hingga kini masih ada ditanganku...Aku tidak tahu bagaimana caranya memberikan fotomu itu kepadanya...
Wah... Sekarang mungkin engkau sudah mulai membenciku...Itu adalah masalahmu. Namun, aku hanya dapat mnjelaskan keadaan yang sebenarnya. Engkau duku bertanya padaku tentang daraku memperoleh buku-buku yang kubaca dan aku tidak menjawabnya. Apa yang harus kukatakan?Karena sebenarnya buku-buku itu kupinjam dari Hasanah dan kemudian ia memberikan kepercayaan padaku untuk memegang perpustakaannya. Ketika itu, mungkinkah bagiku untuk menjelaskan bahwabuku-buku itu aku dapat dari Hasanah? Betapa aku membenci diriku sendiri dan betapa besar murka Allah SWT padaku, atas dosaku terhadap kalian? Dan betapa aku telah membuat diriku hina dan rendah?
Semoga pengakuan ini dapat menumbuhkan sedikit keridhaan terhadap diriku serta membuat hatiku tenteram. Sekarang, yang terpenting bagiku adalah memperoleh keridhaan Allah SWT terhadap diriku. Apakah engkau melihat bahwa Dia akan meridhaiku?
Sekarang, wahai Musthafa yang mulia, semoga surat ini sampai padamu sementara engkau telah menyelesaikan semua ujian-ujianmu dan engkau telah bersiap untuk kembali. Namun, aku berharap, engkau menulis surat untuk Hasanah. Kirimkanlah surat untuknya, walaupun hanya sepucuk. Kemudian, setealh itu, engkau boleh membenciku sesuka hatimu.
Demikianlah, sekali lagi aku mohon maaf. Aku berharap, dari lubuk hatiku yang paling dalam, agar engkau selalu ditambahi dengan kebaikan dan kebahagiaan. Maafkanlah aku, dan dekaplah agamamu, juga Hasanah, untuk selama-lamanya.
Rihab
Selesai menulis itu, Rihab membubuhkan alamat rumahnya pada amplop. Ia kemudian mengenakan pakaian hijab yang baru dihadiahkan Hasanah kepadanya. Sirat itu diletakkan dalam tas tangannya, kemudian ia pergi kekamar Hasanah. Ia ketuk pintunya dan tidak langsung masuk. Hasanah membuka pintu kamarnya, ia sangat gembira tatkala melihat adiknya mengenakan pakaian hijabnya. Ia berkata, "Ya Allah ..., betapa serasinya engkau dengan pakaian ini Rihab. Mari masuk dan lihatlah dicermin, betapa cantik dan mulianya dirimu kini."
Rihab memotong tawaran kakaknya itu seraya berkata, "Tidak! Aku ada urusan suci, aku harus menyelesaikannya secepat mungkin. Dan aku telah mulai mengenakan pakaian ini dambil menyelesaikan urusan itu."
Hasanah bertanya, "Apakah engkau akan pulang terlambat?"
Rihab berkata, "Tidak...! Karena aku segera kembali dan aku pasti akan menemuimu. Tunggu saja, wahai Hasanah!"
Setelah mengatkan itu, ketika Hasanah sedang berpikir heran dan belum sempat berkata apa-apa, Rihab pergi meniggalkan kakaknya itu.
Rihab mengeposkan surat untuk Musthafa. Ialalu kembali kerumah. Setelah melepas hijabnya, ia pergi menuju kamar Hasanah, ingin mengakui semua yang telah dilakukannya selama ini. Cukup sudah penderitaan-penderitaan itu. Namun, setiap kali Rihab melangkahkan kaki, ia kembali lagi. Rihab bingung, bagaimana akan memulainya nanti? Apa yang akan dikatkannya? Apa reaksi Hasanah nanti?
"Tidak! Aku tidak mau! Hasanah pasti akan sangat benci padaku..." Tidak diragukan lagi, setidaknya Hasanah pasti akan bersikap keras terhadapnya. Namun, ia juga bingung dan khawatir, kalau-kalau ia akan takut untuk mengakui kesalahannya. Karena itu, ia membulatkan niatnya dan pergi kekamar Hasanah dengan langkah pasti sambil berkata, "Aku tidak takut pada apapun yang terjadi, selama aku menjalankan perbuatan yang diridhai Allah SWT."
Sementara itu dikamar, Hasanah menanti kedatangan Rihab dengan gelisah. Karenanya, ketika Rihab kembali, ia menyambutnya dengan penasaran dan duduk dihadapannya. Langkah awal yang dilakukan Rihab adalah mengeluarkan foto Musthafa! Wajah Hasanah menjadi pucat-pasi kemudian berubah menjadi memerah . Ia lalu memandang Rihab seraya berkata, "Kapan foto ini sampai ketanganmu Rihab...?"
Rihab menjawab dengan suara yang hampir tak terdengar, "Lihat saja tanggal yang ada disitu...!"
Hasanah memperhatikan tanggal yang tertera dibalik foto itu. Tertulis kira-kira tujuh bulan yang lalu. "Ada dimana saja selama ini Rihab...?" Tanya Hasanah lagi.
Rihab menjawab pelan, Foto itu ada padaku... Bukankah sudah kukatakan sebelumnya bahwa aku adalah orang yang jahat! Aku juga pernah memberitahumu bahwa aku tidak layak mendapatkan cinta dan kasih sayang darimu...!"
Hasanah berkata, "Tidak, tidak demikian adikku! Aku tidak akan membiarkanmu mengucapkan itu...Tetapi tolong ceritakan tentang foto ini, jika engkau tak keberatan..."
Rihab menyambut ucapan kakaknya itu, Kak, kedatanganku kali ini kesini memang untuk menjelaskan tentang foto itu. Dan setelah kuceritakan semuanya, engkau boleh menyikapiku sesuka hatimu..."
Rihab lalu mulai menceritakan segalanya, sementara Hasanah mendengarkannya dengan seksama. Sikap Hasanah itu membuat Rihab heran dan menjadikannya lebih berani untuk meneruskan pangakuan tersebut.
Setelah menjelaskan dan mengakui semua kesalahannya, Rihab lalu diam menantikan hukuman apa yang akan dijatuhkan padanya. Hasanah lantas berdiri dan mencium kening Rihab dengan penuh kasih sayang, seraya berkata, "Demi Allah! Engkaulah yang telah menanggung beban derita selama ini, wahai adikku..."
Rihab mengangkat kepalanya dan menatap kearah Hasanah. Ia hampir tak percaya atas apa yang didengarnya itu. Ia lalu berkata, "Aku...? Aku yang telah menanggung beban derita ini, ataukah engkau wahai Hasanah...?"
Hasanah langsung menjawab, "Tapi, penderitaan-penderitaan yang kualami sirna, tatkala kutahu bahwa secara tidak langsung itu adalah jalan menuju pintu hidayahmu. Oleh karena itu, sekarang aku bertambah bahagia lantaran aku telah mendapatkan kembali adikku yang salehah dan suami yang saleh."
Rihab bertanya untuk meyakinkan diri, "Apakah engkau akan memaafkan pengkhianatan yang kulalkukan terhadapmu, wahai Hasanah?"
Hasanah kembali menjawab, "Ya, aku bahkan akan melupakannya. Itu lantaran rasa bahagiaku yang mendalam padamu dan pada imanmu. Juga, karena telah kembalinya Musthafa padaku. Inilah ciumanku sekali lagi...sebagai bukti persaudaraan kita yang tidak akan berubah."
Hasanah mencium kening adiknya dengan rasa cinta yang tulus. Setelah itu, ia duduk disampingnya, sementara foto Musthafa masih ditangannya. Berulang-ulang, ia memperhatikan foto itu. Ketika itu, Rihab berkata, "Lihatlah! Betapa tampannya ia. Juga, kelebihan-kelebihan lain yang dimilikinya."
Hasanah tersenyum mendengar ucapan itu. Ia pun berkata, "Ketampanan fisik tak terlalu kuperhatikan, tetapi aku memperhatikan keindahan pribadi dan imannya. Sehari pun berlalu, aku belum pernah memikirkan tentang tampan dan tidaknya ia. Namun, yang selalu kupikirkan adalah perilaku dan jalan hidupnya."
Hari-hari berlalu. nampaklah kembal i keceriaan diwajah Hasanah, seolah ia sedang merajut harapan akan kehidupan dimasa mendatang. Disaat-saat seperti itu, Hasanah berusaha untuk menambah kecintaan, kasih sayang dan perhatiannya kepada Rihab, agar segala noda dapat berlalu jauh darinya. Setelah tiga minggu berlalu, ketika keduanya sedang duduk-duduk dikamar Rihab, pembantu mereka datang. Ditangannya terpegang dua pucuk surat.
Hasanah dan Rihab tertegun. Keduanya tak mengulurkan tangannya untuk mengambil surat itu. Masing-masing saling menunggu reaksi spontan dari saudaranya. Akhirnya, sang pembantu meletakkan dua surat itu dihadapan mereka dan berlalu.
Rihab dan Hasanah sama-sama memandang kearah surt itu. Dalam waktu yang bersamaan, secara kebetulan, keduanya berkata, "Itu dari Musthafa...!"
Surat itu, yang pertama ditujukan untuk Hasanah dan yang satunya lagi untuk Rihab.
Rihab nampak takut untuk membuka surat itu; ia khawatir akan isinya. Namun Hasanah memotivasinya seraya berkata, "Rihab, aku tidak akan membaca surat untukku ini bila engkau tidak membuka surat untukmu. Aku sungguh optimis bahwa isi surat untukmu itu akan menyenangkanmu."
Keduanya sama-sama membuka surat masing-masing. Isi surat untuk Rihab adalah:
Dengan nama Allah yang Mahakasih dan mahasayang
Saudariku yang mulia, bukankah engkau Rihab
Salam penghormatan dan do`a serta harapanku yang tulus
Akhirnya, aku mengharapkan untukmu seluruh kebaikan. Aku titipkan engkau kepada Allah SWT, sambil memohon kepada-Nya agar ia menambahkan taufik dan bimbingan-Nya kepadamu.
Musthafa
Adpun surat untuk Hasanah, berhiaskan kata-kata lembut nan indah, seolah menggantikan kekosongan panjang dari hubunganmerka selama ini. Dan Hasanah, tatkala membaca surat itu, sesekali menoleh kearah Rihab. Ia khawatir kalau-kalau surat untuk Rihab itu kan membuatnya sedih. Namun, ia kembali tenang ketika tanda-tanda kegembiraan tergores jelasdiwajahnya. Lantas, begitu selesai membaca surat, keduanya langsung berpelukan dengan sangat gembira dan bahagia. Lalu, Hasanah berkata, : "Tidakkah engkau tahu bahwa dua minggu lagi ia akan kembali?"
Rihab berkata, : "Aku kan sambut kedatangannya, kapanpun itu!"
Setelah seminggu berlalu, sejak surat itu sampai, ibu Musthafa menelpon, meminta ditentukan tanggal untuk mengunjungi mereka. Mereka lalu mempersilakannya datang disore hari itu juga. Mereka menduga, ia datang hanya untuk membicarakan tentang acara resepsi pernikahan Musthafa dan Hasanah saja. Namun, ketika sampai, ternyata ia melamar Rihab untuk anaknya yang bernama Muhammad, dan mengusulkan agar waktu acara pernikahannya dilaksanakan pada waktu yang bersamaan dengan acara pernikahan Musthafa dan Hasanah. Dan itu distujui serta disepakati.

Tidak ada komentar: