Jumat, 30 November 2007

Satu Pria Dua Wanita (6)

Musthafa telah menerima surat Rihab. Ia lalu membacanya dengan teliti. Kemudian, ia lalu membalas surat itu. Sebab, saat itu ia akan menghadapi ujian. Karena itu, ditulislah:
Dengan nama Allah yang Mahakasih dan Mahasayang
Hasanah yang terhormat
Assalamu`alaikum wr.wb
Surat ini kutulis sambil berharap engkau berada kebahagiaan yang purna dunia dan akhirat. Aku senang membaca suratmu yang terakhir, ketika engkau menggambarkan keadaanmu yang dengan sukses telah melalui perjalanan dari keraguan menuju keyakinan. Aku ucapkan selamat atas kelahiranmu kembali, dan aku berharap ini menjadi kelahiran yang membahagiakan. Semoga tahun demi tahun dapat engkau lalui dengan baik.
Dan janganlah engkau beranggapan bahwa aku merasa bosan memenuhi keinginanmu, malah sebaliknya. Sebab, yang membuatku bahagia adalah bahwa Allah SWT telah memilihku untuk berada disampingmu, menyertai keinginanmu akan agama dan iman, sehingga aku menjadi penyebab terbukanya kenyataan-kenyataan yang terhampar dihadapanmu.
hakikat-hakikat inilah yang sebelumnya telah dikalahkan oleh pikiran-pikiran yang menghancurkan. Sebelumnya, engkau laksana hewan kurban dari sekian banyak hewan kurban pemikiran itu. Namun, sekarang engkau telah menyambut seruan kebenaran , yang menarik tanganmu dan memindahkamu dari kegelapan menuju cahaya yang terang-benderang. Oleh karena itu, aku rela dan benar-benar senang menerima tulisanmu, walaupun aku melihat bahwa buku-buku yang kuberitahukan padamu itu telah dapat menjawab setiap pertanyaan. Namun, jika engkau tetap ingin mendapat tambahan, maka inilah sebagian bukti tambahan yang berhubungan dengan tubuh kita.
Pernahkah engkau merasa heran saat engkau mempeerhatikan sistem yang rumit pada kawat telpon? Bagaimana mungkin sebuah pembicaaaan dapat berpindah melewati kabel dari Mesir ke London dan dari Baghdad ke Washington ? Tak diragukan lagi, itu memang sesuatu yang sangat rumit. Bila direnungkan, itu akan membuat kita takjub dan menjadikan para perancangnya kagum dan bangga terhadapnya.
Akan tetapi, kenapa manusia tak mencoba untuk memperhatikan sejenak sistem yang jauh lebih luas dan rumit ketimbang sistem tadi? Yaitu, sistem syaraf yang ada pada tubuh kita. Terdapat jutaan berita yang bergerak melewati sistem syaraf kita, dari satu sisi ke sisi lain, tanpa henti, siang dan malam. Masing-masing menjalankan tugasnya sendiri dalam mengarahkan otak dan mengontrol gerak anggota badan. Dan tatkala setiap sistem harus ada sentralnya, maka sentral dari sistem untu menjalin hubungan-hubungan tersebut adalah akal manusia.
Didalam otak manusia itu terdapat milayaran sel syaraf, yang sel-sel tersebut memiliki semacam kabel-kabel yang menyebar keseluruh tubuh manusia. Inilah yang dinamakan dengan pembuluh-pembuluh syaraf... Pada pembuluh syaaf tersebutterdapat sistem penerima(sensorik) dan sistem pengirim(motorik), yang dengan perantaraan sistem-sistem tersebut kita dapat mendengar, measakan, melihat, serta melaksanakan seluruh aktivitas kita.
Apakah engkau pernah memikirkan tentang otak manusia itu? Betapa banyak iamenyimpan nama-nama, berbagai angka, dan gambaran tentang kisah-kisah yang panjang maupun yang pendek. Disitu juga tersimpan gambar wajah orang-orang yang tak terhitung jumlahnya dan tak ada batasnya, yang sebagian dikenal dan sebagian lain tak dikenal. Lalu, bagaimana dan dimanakah semua nama, nomor, peristiwa, dan gambar-gambar itu tersimpan? Sementara, engkau tahu bahwa ukuran otak itu kecil? Apakah alam yang tidak memiliki perasaan ini dapat mencipta dan mengatur sistem pada otak manusia serta menjadikannya sebagai pusat untuk berpikir dan bekerja dalam tubuh manusia?
Tidakkah engkau memikirkan itu, wahai Hasanah? Atau, adakah seorang yang berakal yang meyakini hal tersebut sebenar-benarnya tanpa ragu sedikitpun? Tahukah engkau bahwasanya ada begitu banyak alat-alat yang sebenarnya dalam pengaturannya mengikuti apa yang elah Allah ciptakan. Contohnya saja lensa kamera, yang menyerupai jaringan luar mata manusia dan penutup lensa tersebut berfungsi seperti selaput pelangi pada mata.
Begitu juga halnya dengan negatif film yang sangat sensitif terhadap cahaya dalam sebuah kamera. Ia mengikuti bentuk layar yang ada pada mata dengan garis-garis dan bentuk-bentuk seperti kerucut yang berguna untuk melihat bentuk-bentuk luar dan menangkapnya dalam posisi terbalik. Adakah seseorang yang berani mengatakan bahwa sebuah kamera telah tercipta dengan sendirinya. Namun, dapat kita temukan orang yang berani dan sengaja mengatakan bahwasanya mata manusia tercipta dengan sendirinya dan hanya kebetulanlahyang mengaturnya menjadi bentuk seperti itu.
Kemudian, tahukah engkau bahwa salah satu universitas musik telah menemukan sebuah alat yang dapat digunakan untuk menangkap frekuensi-frekuensi yang tidak dapat ditangkap oleh indera pendengar manusia. Alat tersebut berfungsi untuk mengetahui sinyal-sinyal akan datangnya banjir ataupun gempa bumi, bahkan beberapa jam sebelum itu terjadi.
Para pakar tersebut memperoleh ide untuk membuat alat itu dari jaring-jaring yang terdapat pada ubur-ubur yang hidup dilaut. Karena ubur-ubur tersebut dapat mengetahui datangnya banjir atau gempa bumi beberapa jam sebelum itu terjadi, maka para insinyur dan pakar meniru anggota badan ubur-ubur tersebut, yang memiliki sensitivitas tinggi hingga dapat menangkap suara bahakan frekuensi-frekuensi yang tak dapat didengar oleh telinga.
Inilah sebagian contoh kecil. Aku anjurkan agar engkau membaca buku Ma`a Allah fi al-Sama(Bersama Allah dilangit) dan buku al-Thibb Mihrab al-Iman(Kedoteran adalah sesuatu yang berharga dalam iman) serta buku Thaba`i al-Ahya(Tabiat-tabiat kehidupan), agar engkau dapat mengetahui apa yang telah Allah SWT ciptakan. Semoga engkau senantiasa dalam kebaikan.
Musthafa
Rihab menerima surat Musthafa lebih cepat dari dugaannya. Sebab, Musthafa sengaja membalas suratnya dengan cepat sebelum ujian akhir dimulai. Rihab pun kembali meminjam buku-buku yang disebutkan itu kepada Hasanah. Bertambahlah iman dan ketenangan jiwa Rihab, setelah membaca buku-buku itu. Namun, ia masih terus merasa bahwa ada sebuah pertanyaan lagi yang mengganjal dibenaknya. Ia bertekad mengajukan pertanyaantersebut sebagai pertanyaan terakhir. Sebab, ia telah bertekad untuk menceritakan keadaan yang sebenarnya. Ia juga ingin mengakui semua kesalahan yang telah dilakukannya, sebelum selesai masa pendidikan Musthafa dan sebelum ia kembali kedaerahnya. Oleh karena itu, ia segera menulis kembali:
Dengan nama Allah yang Mahakasih dan Mahasayang
Musthafa yang terhormat
Seribu salam dan rasa hormatku padamu, sambil mengharap dari Allah SWT agar menjagamu dengan pandangan-Nya yang tidak pernah berhenti dan semoga engkau dijadikan-Nya sebagai mercusuar petunjuk dan hidayah.
Aku yakin, engkau sekarang ini sedang sibuk menghadapi ujian. Oleh karena itu, aku mohon maaf bila pertanyaan-pertanyaanku mengganggumu. Namun, pertanyaan-pertanyaan itu berhubungan dengan masaah kehidupan yang kualami . Karena itu, aku merasa berhak untuk meminta padamu sesuatu yang menjadikan aku lebih kuat.
Pertanyaanku kali ini: Tatkala kita menerima dan meyakini bahwa Allah SWT adalah pencipta alam ini, maka siapakah yang menciptakan Allah SWT itu?
Hasanah
Rihab mengeposkan suratnya itu. Setelah kembali, ia tidak melihat Hasanah dirumah. Ia kemudian bertanya pada ibunya. Ibunya mengatakan bahwa Hasanah ada dikamarnya, dan ia sendiri belum bertemu dengannya sejak tadi.
Rihab pun menduga bahwa Hasanah seang mengalami tekanan jiwa. Rihabpun ikut merasakan itu dan bergegas hendak menemuinya. Namun, didepan kamarnya, Rihab tidak langsung masuk. Ia malah mondar-mandir didepan kamar itu lantaran ragu-ragu. Hingga tekadnya sudah bulat, ia mengetuk pintu dengan perlahan. Karena yakin bahwa pintu itu terkunci dari dalam, iapun memanggil kakaknya dengan lemah lembut, "Hasanah...Hasanah...!"
Hasanah membuka pintu dan memaksakan diri untuk tersenyum pada adiknya itu. Namun, Rihab melihat sisa-sisa air mata dikedua pelupuk mata Hasanah. Hatinya sangat tertusuk melihat kenyataan itu, karena ia tahu ialah penyebabnya. Hampir saja Rihab menjelaskan keadaan sebenarnya dan mengakui kesalahan-kesalahannya. Namun, ia tak berani melakukannya. Iapun berbicara pada diri sendiri bahwa keperluannya pada Musthafa belumlah selesai dan ia meyakinkan diri bahwa nanti pun, setelah dirasa cukup, ia akan menjelaskan itu. Karenanya, ia memegang tangan Hasanah dengan lemah lembut serta memandanginya dengan penuh kasih, seraya berkata, "Mengapa engkau nampak sedih, wahai Hasanah? Tidakkah seharusnya engkau adalah orang yang paling bahagia...?"
Hasanah terdiam, tak menjawab sepatah katapun. Tetapi, ia terhibur dengan sikap lemah lembut adiknya. Itu nampak, tatkala ia meletakkan kepalanya dipundak Rihab, seolah-olah ia ingin bersandar padanya untuk mengurangi beban derita yang ditangungnya.
Rihab kembali berkata, sembari berusaha keras menahan gejolak hatinya, "Jangan kau hiraukan hal-hal yang membuatmu sdih, wahai Hasanah. Sebab, sejuta kebahagiaan menanti dihadapanmu."
Hasanah bangkit dan menolehkan wajahnya kearah sang adik, seraya berkata, "Bagaimana engkau dapat berkata demikian, wahai Rihab? Tidakkah engkau tahu baha aku sudah tujuh bulan lamanya menjadi istri yang sah, menurut syariat dan masyarakat, dengan seorang laki-laki yang belum pernah kudengar ucapannya sama sekali dan belum kudengar berita tentangnya sedikitpun? Itu membuatku yakin, ia tidak suka padaku dan ia telah berpura-pura. Padahal, kedatangannya tinggal beberapa minggu lagi. Apa yang kan terjadi bila ia kembali nanti? Aku tak ingin mengadukan hal ini, tetapi aku sangat menderita memikirkan kehidupan mendatang bersama suami yang berat menerimaku."
Hasanah terus bicara, dan setiap kata yang terlontar bak sembilu yang mengiris-iris jantung Rihab. Namun, Rihab bertahan. Ia melihat bahwa ia harus melakukan sesuatu demi kakaknya yang menderita itu. Karenanya, ia pun berkata dengan lemah lembut, berusaha menghibur, "Tidak! Tidak demikian, Hasanah. Engkau salah sangka. Ia seorang laki-laki yang sah untukmu menurut syariat dan masyarakat, dan ia adalah orang yang paling baik, paling sempurna, dan paling layak untukmu."
Hasanah berkata, "Aku tidak mengingkari itu, tetapi nampaknya ia tak puas memilihku."
Rihab kembali bekata, "Tidak, ia benar-benar menyukaimu dan tidak ada yang dapat mempengaruhinya. Percayalah akan hal ini, kakakku!"
Hasanah memandangi adiknya. Dengan rasa heran, ia bertanya, "Bagaimana bisa engkau meyakini hal itu, wahai Rihab?"
Rihab bingung menjawab pertanyaan itu. Dengan terpaksa, ia berkata, "Aku tahu... Yakinlah atas ucapanku ini!"
Hasanah kembali bertanya, "Ya, tapi dari mana engkau ahu?"
Hampir saja Rihab menceritakan keadaan yang sebenarnya. Betapa buruk pandangan Hasanah terhadapanya nanti? Lalu, apa yang kan dikatakan Hasanah nanti? Ia pasti akan menanyakan banyak hal lagi.
Karena itu, Rihab mengurungkan niatnya, seraya berkata, "Cukup bagimu tahu bahwa aku benar-benar yakin akan ucapanku ini. Tak lama lagi aku pasti akan menjelaskan kepadamu sesuatu yang kuketahui. Yang penting, engkau harus mengembalikan keyakinanmu semula terhadap suamimu, yang sedang kau nantikan. Hendaknya, engkau tersenyum kembali pada kehidupan ini. Aku mohon padamu, wahai Hasanah..."
Hasanah tersenyum dan dengan tenang berkata, "Aku percaya ucapanmu, wahai adikku. Meski aku tak tahu bagaimana itu terjadi, tapi yang jelas, sekarang aku mulai tenang kembali."
Rihab merengkuh tangan kakaknya dan berdiri, seraya berkata, "Kalau begitu, mari kita temui ibu. Ia menunggu."
Beberapa hari setelah itu, Rihab hampir tak pernah berpisah dengan Hasanah. Ia selalu bersama Hasanah, meruahkan kasih dan sayangnya, dan bebrapa kali membicarakan masa depannya. Ia juga berusaha membantu kakaknya, seperti menjahit, membordir, dan lain-lain. Waktu lain diisinya membaca buku. Karenanya, iman dan ketenangannya bertambah. Teapi, ia masih menunggu jawaban Musthafa. Hingga suatu hari, ia menerimanya:
Dengan nama Allah yang Mahakasih dan Mahasayang
Yang terhormat Hasanah
Semoga Allah melindungi dan menjagamu, serta mengokohkan langkahmu dalam kebenaran...
Aku menyesal atas keterlambatan surat ini. Itu dikarenakan kesibukan dan persiapanku dalam menghadapi ujian akhir. Inilah jawaban atas pertanyaan yang kau ajukan, wahai Hasanah. Aku menulisnya dengan singkat; kumohon agar engkau mempelajari buku yang berkenaan dengan pokok-pokok akidah, agar engkau dapat memahami secara lebih rinci lagi.
Ketika kita melihat air yang sedang mendidih, mungkin kita bertanya, kenapa ia mendidih? Jelas, jawabnya adalah lantaran api. Kemudian, bila kita melanjutkan dengan pertanyaan lain, "Kenapa api dapat menyebabkan air mendidih?" Jawabnya adalah karena api itu panas. Setelah itu, dapat dibenarkan bila kita bertanya, "Mengapa api itu panas?" Jelas, pertanyaan ini tak masuk akal,karena bila kia melihat api yang tidak panas pun, kita akan menanyakan mengapa demikian.
Kemudian, tidakkah kita semua sepakat bahwa alam ini terjadi lantaran adanya sebab, atau karena adanya pencipta, yang semua penjelasan dan sebab akan berakhir padanya. Yang berbeda adalah pada bentuk "sebab pertama" itu. Kalangan materialisme beranggapan bahwa sebab pertama itu adalah alam, materi, dan masa, sebagaimana dinukil dalam al-Qur`an. Sedangkan orang-orang yang beriman yakin bahwa yang dimaksud itu adalah Allah yang Mahatahu dan Mahamampu.
Sekarang, mau tidak mau, kita berada pada salah satu dari dua kemungkinan diatas, yang kedua-keduanya sam-sama mengakui tentang keberadaan "sebab pertama penciptaan" yang tidak ada sebab lain setelahnya. Dengan demikian, masalahnya adalah bahwa kita harus menentukan mana diantara keduanya yang benar.
Mungkinkah "sebab pertama" bagi alam,yang didalamnya terdapat hikmah, keindahan, pengaturan serius, dan kreasi penciptaan yang luar biasa, yang seluruhnya berjalan sesuai dengan kemaslahatan manusia dan kebutuhan hidupnya, adalah kekuatan yang buta, yang tak memiliki perasaan, tidak tahu, dan tidak memahami makna kehidupan serta tidak tahu apa-apa bahkan entang pengaturan alam yang sederhana sekalipun. Orang-orang materialis menamakannya dengan al-thabi`ah(alam), terkadang dengan al-madah(materi), dan al-dahru(zaman). Sungguh, jawaban yang benar tidaklah demikian. Sebab, sistem yang ada dialam ini memerlukan pengatur dan hikmah tertentu dan itu membutuhkan kebesaran, keindahan, dan kedalaman ilmu, yang semua itu tak mungkin bersumber, kecuali dari Yang Mahatahu dan Mahaindah.
Musthafa
Selesai membaca surat Musthafa, Rihab pergi menemui Hasanahuntuk meminjam sebuah buku. Ia beniat untuk tidak menulis surat lagi untuk Musthafa. Ia mulai membaca buku tersebut; kembali iman dan ketenangannya bertambah. Ketika itu, ia bertekad menulis surat untuk Musthafa yang menjelaskan kenyataan sebenarnya, karena ia tidak memerlukan tanya jawablagi. Namun, karena kembali terlintas rasa bingung. Yaitu ketika seseorang telah beriman kepada Allah, maka ia juga meyakini al-Qur`an. Lantas, bagaimana cara mengetahui dan meyakini bahwa al-Qur`an itu berasal dari Allah SWT, sebagai pencipta alam semesta dan kehidupan ini?
Dengan begitu, ia masih memerlukan Musthafa. Ia berniat menulis surat kepadanya, terlebih lagi ketika ia melihat bahwa keadaan Hasanah sudah membaik, setelah kejadian beberapa hari lalu, ketika Hasanah menjadi yakin dan tenang atas ucapan Rihab. Karenanya, Rihab menulis surat lagi untuk Musthafa:
Dengan nama Allah yang Mahakasih dan Mahasayang
Yang terhormat Musthafa
Wahai orang yang telah menerangi hatiku dengan cahaya iman dan telah menarik tanganku pada jalan kebenaran dan petunjuk. Aku sekarang merasa seperti kanak-kanak dihadpanmu. Mungkin engkau tak tahu kenapa. Tetapi, sebentar lagi engkau pasti akan mengetahuinya.
Inilah aku yang hingga kini masih memerlukanmu. Tolonglah aku dengan menjawab pertanyaanku. Pertanyaanku saat ini adalah bagaimana mungkin aku meyakini bahwa al-Qur`an ini diturunkan oleh Allh SWT?
Aku mohon, engkau tak marah padaku. Dan inilah pertanyaan terakhir yang kuajukan padamu. Semoga setelah ini engkau memaafkanku, karena aku telah banyak mengganggumu. Aku berharap kepada Allah SWT agar tetap menjadikanmu sebagai orang yang kuat, yang berbakti kepada agamanya dan kepada yang engkau cintai dan Dia juga mencintaimu serta memberimu petunjuk.
Hasanah

Rabu, 28 November 2007

Satu Pria Dua Wanita (5)

Hasanah semakin bertambah rasa kasihan dan perhatiannya terhadap Rihab. Ia mulai mendekati dan menunjukkan kasih sayangnya. Semua itu ia lakukan agar adiknya kembali pada keimanan. Namun, ia melihat, Rihab tidak akan dapat berjalan bersamanya seperti layaknya. Dan setiap kali ia berusaha mendekati dan mengetuk hatinya, dengan menduga bahwa reaksi-reaksi negatif yang terjadi merupakan akibat dari sikap-sikapnya dimasa lalu, ia malah melihat Rihab bertambah bingung dan gelisah, setiap kali ia tambah cinta dan sayang.
Sementara, Rihab mulai dikuasai oleh perasaaan sesal dan iba. Kadang kala, penyesalannya itu mengalahkan rasa takut akan terbongkarnya rahasia tersebut. Andai saja ia tak khawatir kalau Musthafaakan kecewa dan berhenti memberikan diskusi-diskusi yang sekarang ini sangat diperlukannya, maka ia pasti telah menulis surat kepada Musthafa dan menjelaskan siapa dirinya sebenarnya, kemudian mengakui kesalahannya dihadapan Hasanah serta memohon maaf kepadanya. Tetapi, ia tidak kuasa untuk memutus hubungan surat-menyurat dengan Musthafa dan tidak mampu menghadap kakaknya sembari mengakui kesalahannya. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk terus menulis surat kepada Musthafa:
Yang terhormat Musthafa
Tahukah engkau, betapa besar rasa terimakasih dan maluku padamu? Karena, aku telah mendapatkan keuntungan darimu disaat aku berbuat jahat kepadamu! Andai saja aku tidak dapat menjamin bahwa engkau adalah seorang pemuda yang terpelajar, niscaya aku takkan pernah memaafkan diriku sendiri atas kejahatan yang kulakukan padamu.
Engkau telah menyambut baik tulisanku dan menerima penjelasanku. Namun, aku masih ingin menanyakan sebuah pertanyaan, kalau bisa engkau menjawabnya: Tatkala kita membenarkan adanya wujud tertentu yang tidak diragukan lagi keberadaannya, tanpa dapat disentuh oleh panca indera, namun kenyataan-kenyataan tersebut diketahui melalui bukti-bukti dan dalil-dalil, lantas apa bukti-bukti keberadaan Pencipta?
Ini saja pertanyaanku, aku takkan melupakan kebaikanmu padaku sepanjang hidupku.
Hasanah
Sampai disitu Rihab mengakhiri suratnya. Namun, dibenaknya ada hal baru yang dipikirkannya: Musthafa, suratnya yang pertama pernah meminta fotonya Hasanah dan ia tidak menyebutnya lagi pada surat berikutnya, setelah ia menerima surat-surat Rihab yang palsu itu. Akan tetapi, tidakkah seharusnya Rihab melakukan sesuatu demi kakaknya yang teraniaya dan tidak tahu apa-apa itu? Sebenarnya, ia bisa saja tidak mengirimkan foto sama sekali atau mengirimkan fotonya sendiri, menggwntikan foto Hasanah. Tapi, itu merupakan kesalahan baru yang dilakukannya terhadap Hasanah. Musthafa nanti akan meragukan kecantikan Hasanah, sebagaimana ia telah ragu akan agamanya.
Bila begitu, itu merupakan kesalahan baru. Padahal, Hasanah adalah perempuan yang cantik, sangat cantik. Ia elok bak bidadari. Lantas, apa yang dapat dilakukannya untuk menghilangkan keraguan Musthafa akan kecantikan wajahnya? Seandainya saja Rihab telah mengirimkan fotonya sejak kali pertama, tentu fotonyalah yang dikirim menggantikan foto Hasanah, seiring dengan sikap permusuhannya ketika itu. Namun, ia sekarang telah berubah. Benar, Rihab cantik juga, tetapi ia tak ingin menambah pengkhianatan yang baru. Tidak, hal ini tidak akan dilakukannya. Oleh karena itu, ia harus mendapakan foto Hasanah, lalu mengirimkannya ke Musthafa. Rihab tidak memiliki foto Hasanah, karenanya, ia harus memintanya dari Hasanah.
Siang hari, tatkala Hasanah berada dikamarnya, Rihab pergi menemuinya. Ia berusaha bersikap seperti biasa, meskipun bersusah-payah untuk itu. Hasanah menyambut dan menampakkan kegembiraannya. Rihab lalu berkata, "Sebenarnya, aku ada perlu denganmu, wahai Hasanah!"
Hasanah gembira lantaran Rihab mau meminta apa yang diperlukannya. Dengan perasaan sayang, ia berujar, "Apa yang dapat kubantu, adikku? Katakanlah apa yang kau inginkan..."
Wajah Rihab nampak pucat lantaran malu. Ia berkata, "Aku minta fotomu... Foto terbaikmu, kakakku."
Hasanah heran atas permintaan itu, tetapi ia tidak mau mengusik perasaan adiknya. Karenanya, ia berkat, "Aku pasti akan memberikan fotoku hari ini dan engkau dapat memilih mana yang kau suka."
Setelah mengatakan itu, Hasanah langsung mengambil sebuah album dari dalam lemari, lantas menyerahkan pada Rihab. Rihab menerimanya dengan tangan bergetar. Dipandanginya foto-foto itu dan hampir saja ia tak dapat memperhatikan foto-foto itu, karena sangat galau. Ia lalu mengambil sebuah foto yang paling baik dan jelas, kemudia mengembalikan album tersebut kepada Hasanah dan berterima kasih padanya.
Setelah itu, ia kembali kekamar, seakan-akan sedang melarikan diri dari bahaya yang besar. Foto itupun diletakkan kedalam amplop surat yang ditulisnya. Dibalik foto itu ia tak menuliskan kata-kata apapun, agar keindahannya tak tercemari oleh kata-kata yang ditulisnya. Rihab mengirimkan surat itu sore harinya.
Adapun Hasanah, minggu-minggu dan bulan-bulan yang dilalui semakin membuatnya menderita, lebih merasakan kehilangan. Namun, selama itu ia nampak tenang dan tak mempedulikan perasaannya. Ia memenuhi diri dengan rasa optimis dan tenang dengan pilihannya yang baik. Yang membuatnya terhibur adalah perubahan pada diri Rihab, yang sekarang gemar mempelajari buku-buku agama.
Pernah suatu hari, Hasanah memperhatikannya. Dilihatnya Rihab sedang shalat dikamarnya. Hasanah lalu masuk kekamar dan menciumnya dengan bahagia, seraya berkata, "Tahukah engkau, betapa senangnya hatiku padamu, wahai Rihab? Sekaang, aku baru menemukan saudaraku lagi, sebagai orang yang kucintai. Begitu jugakah yang kau rasakan, wahai adikku? Aku benar-benar sangat mencintaimu. Ya Allah...alangkah cantiknya engkau adikku dan betapa sejuknya melihat dirimu. Engkau laksana bidadari, engkau benar-benar sangat cantik."
Rihab tak dapat berata apa-apa. Ia merasa jiwanya terlepas bersamaan dengan setiap kata yang ia dengar dari Hasanah.
Oleh karena itu, setelah Hasanah keluar kamar, Rihab jatuh tersungkur diatas sajadah. Sambil menyembunyikan tangisnya yang terisak-isak, ia berkata, "Celaka, betapa kejamnya aku, memperlakukan malaikat yang baik hati dan lemah lembut itu."
Hari-hari dilalui Rihab dan Hasanah dengan berat dan lambat. Hingga suatu hari, Rihab menerima sura jawaban Musthafa, yang kemudian dibacanya:
Dengan nama Allah yang Mahakasih dan Mahasayang
Kepada Hasanah
Assalamu`alaikum wr.wb
Semoga engkau berada dalam keadaan sehat wal afiat dan semoga Allah SWT memberikan petunjuk padamu untuk kebaikan agama dan duniamu.
Merupakan tanda baik darimu manakala engkau meminta bukti demi bukti, karena itu menunjukkan secercah kebaikan, alhamdulillah. Disurat ini, kutuliskan lagi beberapa bukti mengenai keberadan Pencipta, sebagaimana engkau minta:
Pertama, ilmu pengeahuan telah menyingkap adanya hukum kedua pada hukum termodinamika. Hukum ini juga dinamakan dengan hukum konduksi panas. Hukum ini membuktikanpada kita keharusan untuk beriman kepada Pencipta alam, dan bahwa hukum ini tidak azali(sudah ada sebelum yang lain ada, tal diawali oleh sesuatu) Hukum ini menyatakan bahwa energi panas yang ada di alam ini dapat berpindah dari satu benda yang panas ke benda yang lain yang tidak panas. Atau dengan kata lain, ia berpindah dari benda yang lebih panas kebenda yang kurang panas, sehingga kedua benda tersebut menjadi sama panasnya.
Dan kita menyaksikan bahwa sumber-sumber energi dan panas dialam ini memancarkan energi panasnya secara terus-menerus keseluruh penjuru alam yang luas ini. Namun, meski demikian, hingga saat ini energi panas yang ada pada setiap benda dialam yang luas ini tidaklah sama. Itu merupakan bukti ilmiah yang menunjukkkan bahwa sumber energi dialam ini adalah haditsah(sesuatu yang baru) dan tidak azali. Sebab, seandainya sumber energi itu azali, maka konduksinya pasti juga sudah terjadi jutaan tahun yang lalu dan sudah sejak lama pula benda-benda yang ada ini mencapai tingkat panas yang sama.
Kesimpulan yang dapat dipetik dari penemuan itu adalah seperti yang dikatakan oleh Edward Luther, seorang ilmuwan berkebangsaanAmerika, yang juga seorang pakar zoolagi, "Itulah yang ditetapkan oleh penemuan-penemuan ilmiah tanpa sengaja bahwa alam ini ada permulaannya, sehingga secara langsung dapat ditetapkan bahwa ada yang telah menciptakannya. Sebab, segala sesuatu yang memiliki permulaan, tidak mungkin ada dengan sendirinya dan pasti memerlukan sumber penggerak, yaitu Tuhan Sang Pencipta."
Sekaitan dengan itu, Sir William James juga berkata, "Ilmu pengetahuan mutakhir berpendapat bahwa gerak dan perubahan energi panas itu akan terus berlangsung hingga energi-energi itu selesai secara keseluruhan, dan sampai saat ini pergerakan tersebut belum mencapai titik maksimumnya. Sebab, jika itu terjadi, maka sekarang ini kita pasti sudah tidak ada lagi dimuka bumi ini dan tidak lagi memikirkan hal itu. Sesungguhnya, pegerakan ini maju dengan cepat seiring dengan gerak zaman. Karenanya, ia harus memiliki permulaan, dan sebelumnya pasti telah terjadi sebuah gerak dialam ini, kapanpun itu, sehingga alam ini tidak mungkin azali."
Kemudian ada banyak bukti-bukti ilmiah lain, wahai Hasanah, yang mendorong kita untuk beriman kepada Pencipta alam serta menjadikan kita mengenal Sang Pencipta melalui pengetahuan kita atas alam dan apa yang ada padanya. Namun, saat ini, tidak mungkin diutarakan semuanya. Aku hanya dapat menyebutkan salah satu diantara bukti-bukti tersebut.
Ada bukti kedua, semoga engkau tidak bosan mendengarnya...yaiu bahwa ilmu pengetahuan telah menyingkap adanya bukti-bukti alami yang menguatkan bahwa alam ini tidak azali dan ia juga tidak abadikarena dibatasi oleh umur tertentu. Sebab, ilmu astronomi telah membuktikan bahwa alam ini selalu saling berhubungan, satu sama lain, dan seluruh gugusan bintang serta semua benda-benda langit saling menjauh, satu sama lain, dengan kecepatan yang mengagumkan. Ini menunjukkan bahwa benda-benda yang saling menjauh satu sama lain itu, sebelumnya adalah sebuah kumpulan , kemudian muncullah energi panas dan gerak.
Hal yang dapat disimpulkan dari penemuan ilmiah ini adalah keyakinan bahwa alam ini dibatasi oleh umur tertentu, dan bahwa gerak yang terus menerus pada akhirnya, suau daat nanti, akan berhenti pada kehancuran... Sekarang, kembali harus kita tegaskan bahwa seglal sesuatu yang memiliki akhir, pasti ada permulaannya. Jika tidak, maka akhir dari alam ini tidak akan dapat dibayangkan sedikitpun.
Baiklah, aku tak ingin membuatmu jenuh. Berkenaan dengan hal itu, aku berharap agar engkau mau membaca buku Allah Yatajalla fi `Ashri al-Ilmi(Allah nampak dizaman ilmu pengetahuan) serta buku Rihlati min al-Syakki ila al Iman wa ila al-Mazid min Khuthuwati al-Takamul(Perjalanan dari keraguan menuju iman dan menuju tahap-tahap kesempurnaan).
Musthafa
Rihab menerima surat Musthafa. Setelah membacanya, ia pergi kekamar Hasanah dan mengambil tiga buah buku diantara buku-buku yang ada, padahal ketika itu Hasanah tidak dirumah. Ia pelajari buku-buku itu dengan tekun dan serius serta berusaha memahami isinya. Kebetulan, Rihab mendapat cuti sakit selama satu minggu. Karenanya, ia gunakan kesempatan itu untuk mengeksplorasi isi buku-buku tersebut. Setelah menyelesaikan buku-buku itu, Rihab merasa bahwa ia telah beriman kepada Allah SWT. Imannya telah mengristal tanpa keraguan sediktipun. Akan tetapi, ia masih terus membutuhkan tambahan pengetahuan. Ada banyak petanyaan yang menggangu pikirannya. Karenanya, ia duduk dan kembali menulis surat untuk Musthafa:
Musthafa yang terhormat
Bagaimana mungkin dapat dikatakan bahwa engkau telah membuatku jenuh lantaran membaca tulisanmu. Sementra, engkau baru mulai membuka tabir yang selama ini menutup kedua mataku, betapapun tebalnya tabir itu. Engkau juga telah menyelamatkanku dari kegelapan dan kesesatan. Karena itu, kali inipun, setelah membaca buku-buku yang telah engkau sebutkan, aku masih akan meminta tambahan. Jiwaku kini benar-benar sangat tenang. Apakah engkau bersedia menuliskan lagi untukku hakikat-hakikat dan kenyataan-kenyataan yang telah kau sebutkan dalam suratmu yang lalu? Perlu kau ketahui bahwa aku kini seolah baru dilahirkan kembali. Aku mmerlukan tambahan pengetahuan darimu, seperti seorang bayi yang masih menyusu, yang memerlukan air susu ibunya.
Mungkin, itu dapat memotivasi dan membuatmu masih mau bersusah payah menanggung beban yang kuberikan. Padahal, aku tidak layak menerimanya darimu. Namun, aku mohon padamu untuk tidak mengecewakanku, lantaran aku benar-benar memerlukanmu, yang kumaksud adalah pengetahuanmu.
Hasanah

Satu Pria Dua Wanita (4)

Surat itu telah diterima Musthafa. Sebuah surat yang ditunggu-tunggu untuk dapat menentukan sikap terhadap istrinya itu, dari tulisannya dan dari tanya jawab sebelumnya. Jika saja ia sama sekali tidak menemukan perubahan pada dirinya, maka gugurlah kewajiban syariat terhadapnya, karena usaha itu ternyata sia-sia. Akan tetapi, bila ia melihat adanya sedikit peningkatan dalam tanya jawab itu, maka kewajiban syariat terhadapnya akan terus berlanjut. Hasanah laksana seseorang yang hilang dan tidak seperti seorang isteri.
Musthafa tak habis pikir, membayangkannya sebagai seorang istri dan pendamping hidupnya, lantaran penyimpangannya yang jauh. Namun, tatkala Musthafa melihat Hasanah ternyata menerima apa yang telah ia tulis dan mau membaca buku yang ia anjurkan serta mengajukan pertanyaan baru, maka Musthafa melihat bahwa ia harus menulis kembali sebuah surat untuknya. Karena itu, ia pun menulis:
Denag nama Allah yang Mahakasih dan Mahasayang
Kepada Hasanah
Assalamu`alaikum wr.wb
Segala puji bagi Allah yang telah menyebabkanku dapat menulis surat ini dengan jiwa dan semangat baru. Aku benar-benar gembira menerima suratmu itu dan aku menyambut hangat pertanyaan yang telah kau ajukan kepadaku. Sebab, itu menunjukkan bahwa engkau memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Namun, kali ini aku akan menjawab dengan singkat. Bahkan itu sebenarnya bukan merupakan jawaban, melainkan beberapa pertanyaan yang sangat kuharapkan engkau bersedia menjawabnya:
1. Apa yang membedakan manusia dengan hewan, pada sisi pengetahuan, padahal keduanya sama dalam hal aktivitas-aktivitas inderawi?
2. Apakah engkau meyakini keberadaan dan ketiadaan?
3. Apakah engkau pernah mengatakan sesuatu yang tidak masuk akal?
Inilah pertanyaan-pertanyaan singkat dariku. Sekali lagi, aku berharap agar engkau menjawabnya. Terima kasih sebelumnya...
Musthafa
Surat Musthafa telah Rihab baca. Ia ingin sekali menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam surat itu. Lama termangu, menatap surat itu, namun ia belum juga mampu menjawabnya. Ia pun menoleh kearah Hasanah yang berada dikamarnya. Dalam keadaan bingung melebihi keadaan sebelumnya, ia menghampirinya. Lantaran semakin sadar akan keberadaan Allah SWT, maka semakin besar pula penyesalannya terhadap Hasanah. Sementara, ia takkan dapat menjawab pertanyaan itu kecuali dengan bantuan Hasanah. Oleh karena itu, ia tetap merahasiakan apa yang diperbuat terhadap kakaknya itu...
Kedatangannya disambut Hasanah, yang akhir-akhir ini agak membuka diri terhadapnya dan mulai dekat kepadanya, setelah Hasanah melihatnya mulai mengisi waktu dengan mempelajari buku-buku agama. Rihab terduduk. Ia tak tahu nama tertentu dari buku yang dicarinya. Karena itu, ia akan minta kepada Hasanah untuk membimbingnya menemukan buku yang diperlukan. Lantaran tak tahu dari mana harus memulai pembicaraan, ia duduk termangu.
Lagi-lagi, Hasanah yang mengawali pembicaraan, "Mudah-mudahan engkau telah membaca dua buku yang kau pinjam sebelumnya..." Rihab menjawab singkat, "Sudah." Hasanah kembali berkata, "Apa engkau suka membaca buku-buku itu?" Rihab menjawab singkat lagi, "Suka!"
Ketika itu, Hasanah merasa bahwa adiknya sedang menyembunyikan sesuatu dengan cara berdiam diri. Dari sikap itu, Hasanah kemudian dapat membaca bahwa Rihab memerlukan sesuatu darinya. Tak ragu lagi, yang diperlukan tak lain adalah buku. Sebab, ia tahu, tak ada yang diperlukan Rihab kecuali buku. Maka, lantaran didorong hubungan persaudaraan dan tanggung jawab keagamaan, ia mengajak Rihab berbicara dan tak mempedulikan sikap adiknya itu selama ini.
Hasanah mulai melontarkan kata-kata dengan lemah-lembut, "Semua buku-bukuku ada disana. Engkau bebas memilih mana yang ingin kau baca, kapanpun kau suka, meskipun bila aku tidak dirumah. Sekarang, apakah engkau memerlukan buku, wahai adikku?" Rihab menjawab ragu-ragu, "Ya, aku perlu, tapi aku tak tahu apa yang kuperlukan."
Hasanah tak menampakkan rasa herannya, bahkan ia langsung berkata dengan lemah-lembut dan tenang; "Buku sejarahkah? Buku ilmu pengetahuan? Buku akhlak? Atau buku tentang keimanan kepada Allah SWT? Bilang saja, jenis buku apa yang kau inginkan." Rihab menjawab, "Aku ingin buku mengenai keimanan kepada Allah." Betapa senang Hasanah mendengar pilihan adiknya itu. Ia segera mengambilkan sebuah buku berjudul al-Iman wa al-`Aqlu(Iman dan akal) dan sebuah buku lagi berjudul al-Iman wa al-akhirah(Iman dan akhirat) yang ditulis oleh Muhammad jawad Mughniyah. Hasanah juga memberikan buku ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan pembahasan keimanan. Rihab kemudian mengambil buku-buku itu dan kembali ke kamarnya.
Disana, sambil terlentang ditempat tidur, ia memikirkan kata-kata Hasanah nan lembut. Juga, sikap halus yang ditunjukkan kepadanya akhir-akhir ini serta bantuan-bantuan yang diberikan dalam merapikan kamar, menjahit pakaiandan meminjamkan buku-buku kepadanya.
Setelah itu, Rihab tak dapat berkata apa-apa selain, "Betapa jahatnya diriku ini..." Lebih jauh, ia berkata pada dirinya sendiri, "Mengapa engkau tidak sudahi saja permainan berbahaya ini? Kenapa engkau tak berhenti mengganggu kehidupan perempuan sangat kau kasihi itu?"
"Akan tetapi, tidak! Aku takkan berhenti sebelum berhasil menyelesaikan permainan ini. Sebab, saat ini aku sangat memerlukan penjelasan Musthafa atas persepsi-persepsi yang belum jelas itu. Andai saja itu terjadi dan aku menceritakan kenyataan yang sesungguhnya, maka setelah itu aku pasti akan lebih dihina dan diperlakukan tidak baik oleh Musthafa dan yang lain...Tidak! Aku tak mungkin berhenti."
Selang beberapa hari, ia kembali menulis surat untuk Musthafa:
Yang terhormat Musthafa
Sebelum aku menjawab pertanyaanmu itu, aku ingin tahu, apa sebenarnya yang engkau inginkan dibalik tiga pertanyaan itu. Karenanya, aku berusaha dan berusaha lagi serta pergi mencari buku-bukuu yang membahas tentang wujud Allah SWT, sambil berharap agar dapat membimbingku menemukan tujuan yang tersembunyi dibalik semua pertanyaan itu.
Aku tak ingin, dihadapanmu, seperti seorang murid kecil yang pikirannya selalu dicekoki secara serta-merta oleh gurunya. Dan telah kau paksa aku untuk membaca banyak buku, selain buku tentang keimanan yang telah selesai kubaca sebelum aku menerima pertanyaan-pertanyaanmu. Aku tak ingin merahasiakan padamu bahwa ketika aku mulai membaca, keinginan kerasku hanya tertuju pada satu titik, yaitu memahami apa yang engkau inginkan, sebelum engkau menjelaskannya.
Biasanya, lantaran isi buku-buku itu dan karena aku terlalu banyak membaca, pikiranku menjadi dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan. Itu membuatku hanyut membaca, dengan keinginan agar aku benar-benar memahaminya. Sayang sekali, aku tak tahu bagaimana aku dapat terbebas dari semua pertanyaan yang jawabannya kuinginkan itu. Karenanya, aku merasa harus mendengar jawabanmu setelah kutuliskan jawabanku dibawah ini:
Pertama: Berkenaan dengan perbedaan antara manusia dan hewan, padahal keduanya memiliki kemampuan inderawi yang sama, maka sesungguhnya manusia itu mampu berpikir secara mandiri dan ini berbeda dengan hewan.
Kedua: Adapun yang berhubungan dengan keberadaan dan ketiadaan, itu tak diperselisihkan lagi. Sebab, sesungguhnya semua akal dapat mengetahui keberadaan dan ketiadaan.
Ketiga: Adapun masalah hal yang mustahil, itu adalah masalah yang sudah jelas dan sangat jelas dalam berbagai keadaan. Sebab, mustahil bagi kita memasukkan seekor unta kedalam lubang jarum.
Inilah jawaban-jawaban atas beberapa pertanyaanmu. Sekarang, apa jawabanmu?
Aku mengharapkan semua kebaikan dan mohon maaf.
Hasanah
Surat Rihab telah sampai kepada Musthafa. Setelah menerimanya, terlintas dibenak Musthafa keinginan untuk merobek surat itu sebelum membacanya. Layakkah perempuan yang ia selalu rajutkan mimpi-mimpi dengan benang emas dan perak untuknya mejadi pendamping hidupnya? Cobaan pahit macam apakah yang telah ditelankan Zainab kepadanya? Bagaimana mungkin ia dapat hidup dengan seorang perempuan yang meragukan kesucian bukti-bukti dan pemahaman yang mendasar?
Namun, ia kembali pada keputusan semula, seraya berkata, "Tidak, aku harus menyelesaikan langkahku yang pertama hingga nafas penghabisan, apalagi ketika sikapku ini sudah nampak membuahkan hasil."
Musthafa kemudian membuka surat itu dan mulai membacanya dengan teliti. Ia mencari kalimat-kalimat yang wajar, yang biasa ditulis kebanyakan manusia, baris demi baris. Ditemukanlah secercah harpan yang membuatnya gembira. Musthafa bersyukur kepada Allah SWT dan ia berulang kali berucap, "Semoga masalah ini cepat selesai." Lalu, ia menulis balasannya:
Yang terhormat Hasanah
Seribu salam dan penghormatanku untukmu
Suratmu telah kuterima. Aku gembira mendengar engkau telah membaca buku-buku yang kuanjurkan. Apapun tujuannya, yang terpenting adalah bahwa pemahaman merupakan keuntungan yang telah kau peroleh darilembaran-lembaran buku-buku itu. Oleh karenanya, engkau dapat menyaksikan betapa banyak dan berharganya harta karun ini, yang selalu berada didekatmu, sementara engkau tidak merasakan kedekatannya. Aku ingin tahu, dari mana engkau peroleh buku-buku itu?
Berkenaan dengan tiga pertanyaan yang kuajukan, maka tatkala engkau menyadari bahwa panca indera bukan merupakan segalanya dalam memperoleh pengetahuan, maka dari sini kita tahu bahwa panca indera tidak lain hanyalah salah satu perantara untuk memudahkan manusia dalam memperoleh pengetahuan yang tidak tersentuh oleh akal.Melalui panca indera tersebut, manusia akan sampai pada sebuah hakikat.
Oleh karena itu, kita temukan bahwa ada berbagai hakikat yang tidak diragukan dan tidak diperdebatkan lagi keberadaannya, padahal ia tak dapat disentuh oleh panca indera. Contoh saja, apa yang kau yakini tentang keberadaan dan ketiadaan.
Pernahkah engkau melihat ketiadaan dengan kedua matamu? Atau, pernahkah engkau merasakannya dengandengan lidahmu? Menyentuh dengan tanganmu? Atau, kau cium aromanya dengan indera penciumanmu? Atau, pernahkah engkau mendengar suaranya? Apakah ini pernah terjadi pada dirimu atau pada selainmu? Mungkinkah ini terjadi?
Jelas tidak mungkin! Sebab, ketiadaan tak dapat diraba, dilihat, didengar, dicium ataupun dirasakan dengan lidah. Padahal, aku, engkau, dan semua orang yang berakal meyakini tentang keberadaan dan ketiadaan. Bagaimana ini bisa terjadi?
Termasuk hal yang mustahil adalah ketika kita berkata, Pabila ketiadaan adalah hal yang tidak mungkin ada, lantas bagaimana kita dapat mengetahui bahwa itu adalah mustahil dan dengan cara apa kita membuktikan nya?"
Apkah engkau beranggapan bahwa kita dapat mengetahuinya dengan panca indera? Apakah kita pernah melihat, meraba, mencium atau merasakannya? Jelas, itu tak mungkin terjadi dan disaat yang sama kita yakin bahwa ada sesuatu yang mustahil. Jga, kita dapat membingkai sesuatu itu, sebagaimana yang engkau contohkan, yaitu memasukkan unta kedalam lubang jarum....
Bagaiman ini bisa terjadi? Apakah panca indera kit memiliki andil? Tentu jawabnya adalah tidak! Sebab, panca indera tak mungkin menyentuh sesuatu yang tidak ada, padahal, disaat yang sama, kita mempercayai sesuatu yang mustahil. Itulah hasil aktivitas mental dan yang membedakan antara manusia dan hewan....
Ada hakikat lain yang tak dapat dijangkau oleh panca indera kita, yaitu bahwasanya air tersusun dari dua unsur kimia: hidrogen dan oksigen. Inilah kenyataan yang tekah diperkuat oleh ilmu pengetahuan dengan hanya membawakan bukti yang logis saja, tanpa dapat dibuktikan oleh indera...
Kemudian, marilah sama-sama kita dengarkan ucapan seorang profesordalam bukunya, "Hakikat-hakikat yang kita ketahui secara langsung dinamakan dengan hakikat-hakikat yang dapat disentuh. Hanya saja, hakikat-hakikat yang kita ketahui, tidak terbatas pada hakikat itu saja. Sebab, banyak hakikat lain, selain hakikat itu, yang tidak kita ketahui secara langsung, tetapi kita dapat meyakini dan memastikan keberadaannya dengan cara penarikan kesimpulan. Hakikat-hakikat itu dinamakan dengan hakikat-hakikat melalui penarikan kesimpulan
. Yang terpenting adalah kita memahami bahwa tidak ada perbedaan antara kedua hakikat tersebut. Yang membedakan hanyalah dalam penamaannya dan cara mendapatkan kenyataan-kenyataan itu; yang pertama secara langsung dan yang kedua melalui perantara. Sesungguhnya, hakikat atau kenyataan itu selamanya adalah hakikat atau kenyataan itu sendiri. Baik lita ketahui secara langsung ataupun melalui penarikan kesimpulan."
Kemudian, profesor ini menambahkan, "Sesungguhnya hakikat-hakikat alam yang tak dapat disentuh panca indera tidak sedikit jumlahnya, lantas bagaimana mungkin kita mengetahui sesuatu yang banyak lainnya itu? Disini, ada perantaranya, yaitu penarikan kesimpulan,. Ini merupakan langkah berpikir yang kita gunakan dalam menyingkap sebuah pengetahuan, sehingga kita dapat memastikan bahwa sesuatu itu ada, padahal kita benar-benar tidak menyaksikannya."
Contoh lainnya adlah hukum kausalitas(sebab-akibat) yang mungkin engkau sudah mengetahuinya. Hukum tersebut tidak dan tidak pernah dapat dirasakan keberadaannya oleh indera. Sebagaimana, tersirat dalam ucpan Newton ketika menyingkap keberadaan hukum kausalitas tersebut, "Adalah suatu hal yang tak dapat dimengerti pabila kita menemukan sebuah benda materi yang tidak hidup dan tidak dapat merasakan, namun ia dapat memberikan pengaruh pada benda materi lainnya, padahal diantara keduanya tak ada hubungan apapun."
Melalui metode inilah, wahai Hasanah, yaitu metode aktivitas mental serta bukti-bukti aqli(akal) dan naqli(ayat atau hadis), maka kita meyakini keberadaan sang Pencipta dan kemudian, setelahnya, meyakini keberadaan agama yang harus kita anut.
Aku terlalu panjang menulis surat ini, sehingga mungkin membebanimu. Namun, aku selalu siap untuk menambahnya, jika engkau ingin.
Musthafa

Selasa, 27 November 2007

Satu Pria Dua Wanita (3)

Rihab menanti surat jawaban dengan rasa penasaran yang berbeda dengan sebelumnya. Ia sekarang ingin melihat jawaban atas pertanyaannya, setelah ia mengerti isi surat jawaban pertama dan membenarkannya. Akhir-akhir ini ia mulaui dihantui rasa cemas, kalau-kalau rahasianya terbongkar. Perasaan yang tidak ada sebelumnya. Bagaimana kalau Zainab, kakak Musthafa, kembali dari bepergian? Bagaimana jadinya bila Musthafa menegur Zainab lantaran telah memilih Hasanah untuknya? Jangan-jangan Zainab curiga dan membicarakan hal itu dengan Hasanah, yang adalah teman dekatnya? Bagaimana nantinya bila semua ini terbongkar?
Setiap kali kekhawatiran Rihab sampai ketaraf itu, ia merasa tertekan. Karenanya ia berusaha menjauhkan perasaan-perasaan tersebut, agar bisa melanjutkan langkahnya hingga penghujung jalan. Tak begitu lama menunggu, surat balasan Musthafa diterimanya. Ia segera membacanya untuk mengetahui jawaban atas pertanyaan yang ditulisnya:
Dengan nama Allah yang Mahakasih dan Sayang
Hasanah yang terhormat
Assalamu`alaikum wr.wb.
Jawaban suratmu telah membuatku senang lantaran isinya cocok dengan apa yang kutuliskan sebelumnya. Aku berharap, ini merupakan awal dari kecocokan pemikiran yang sempurna. Akan tetapi, aku masih heran denganmu. Engkau membayangkan bahwa iman kepada Allah disebabkan oleh lemahnya manusia. Jika yang engkau katakan itu benar, maka semestinya yang kita temukan adalah bahwa para nabi dan orang-orang yang menyeru dijalan Allah merupakan manusia-manusia paling lemah dimasanya. Padahal, yang kita lihat sebaliknya, para nabi yang menyeru kepada Allah dan beriman kepad-Nya adalah orang-orang yang kuat.
Nabi Nuh contohnya. Beliau terus-menerus mengajak kaumnya untuk beriman kepada Allah selama 900 tahun lamanya, tanpa merasa lelah dan bosan. Kemudian, kita lihat bagaimana beliau mampu membuat sendiri bahteranya, dan disaat membuatnya beliau tahan atas berbagai bentuk celaan, bantahan, intimidasi, dan ancaman. Tanpa ragu beliau tak pernah berniat mengurungkan misinya. Setelah itu, ketika air bah telah pasang, beliau dan keluarganya menaiki bahtera itu dengan aman dan tenang, tidak merasa khawatir akan ombak yang menerpa dan tidak pula perasaannya guncang oleh sikap anaknya yang durhaka. Bukankah ini merupakan bukti akan kuatnya keinginan dan kemantapan pribadi, wahai Hasanah?
Lalu, kalau kita tengok sejarah, nabi Ibrahim bersikap tegar dihadapan musuh-musuhnya, sehingga beliau menolak segala bentuk negosiasi dan tawar-menawar. Oleh karena itu, mereka mengancam hendak membakar beliau. Namun, beliau tetap pada pendiriannya, sehingga Allah mengokohkan langkahnya agar tak bergeser walau sedikitpun.
Kemudian Nabi Ibrahim dibawa kehadpan api menyala yang kan digunakan untuk membakarnya. Mereka membawanya kesitu secara berulang, berharap sikapnya akan melaemah atau akan terpengaruh. Walau demikian kekuatannya tidak melemah. Setelah itu, beliau dilemparkan dari tempat yang tinggi ketengah kobaran api yang menjilat-jilat. Namun, tanpa terdengar sedikitpun kata-kata rintihan dan permohonan, api itu menjadi dingin dan beliaupun keluar dengan selamat. Bukankah ini merupakan bukti akan kekuatan dan ketegaran yang luar biasa? Atau, adakah orang yang dpat mengatkaan bahwa beliau adalah manusia yang lemah dan bodoh?
Nabi Musa mendatangi Fir`aun yang bersimaharajalela dengan kediktatorannya. Beliau tak memiliki apa-apa selain saudaranya, Nabi Harun, dan kalimat kebenaran. Beliau tetap mengajak Fir`aun untuk beriman kepada Allah, tanpa mempedulikan penderitaan-penderitaan yang kan menantinya. Tidakkah ini juga merupakan bukti kekuatan dan ketegaran?
Nabi Isa tetap tegar dalam menyeru manusia menuju Allah. Begitu juga dengan nabi kita, Muhammad saw, dengan apa yang beliau hadapi saat menyeru manusia untuk beriman kepada Allah. Beliau menghadapi itu tanpa kelemahan. Bahkan ketika orang-orang dari suku Quraisy bersatu untuk memerangi beliau dan meminta beliau berhenti menyeru manusia menuju Allah. Beliau bersabda, "Demi Allah, andai matahari diletakkan ditangan kananku dan rembulan diletakkan ditangan kiriku, agar aku meninggalkan dakwah ini, maka aku tidak akan melakukannya."
Ya, sejarah Rasul saw telah menjelaskan seluruh episode kepahlawanan beliau. Jika dapat, aku memintamu agar membaca buku sejarah Rasulullah saw. Mungkin, banyak hal yang belum kau ketahui, sehingga setelah itu engkau dapat memahami bagaimana para nabi adalah orang-orang yang memiliki kepribadian paling kuat, sikap yang paling tegar, serta keberanian jiwa yang paling besar. Semoga engkau juga mau membaca buku-buku tentang keimanan. Karena disamping merupakan hiburan, buku-buku tersebut juga bermanfaat. Sampai disini dulu suratku. Ketahuila, aku siap menjawab pertanyaan apapun darimu.
Musthafa
Saat Rihab mengisi waktunya, menunggu surat balasan dari Musthafa, dan menyiapkan surat balasannya, sambil sesekali dihinggapi sedikit rasa sesal atas perbuatannya, perasaan yang ia usahakan untuk dapat diacuhkannya, agar tak larut didalamnya, saat itu pula nampak Hasanah sedang duduk tercenung, menahan beban derita yang dipendamnya. Ia menahan sakit hati yang berusaha tak dihiraukannya. Ia juga berusaha agar tak terpengaruh oleh perasaan itu tatkala jiwanya mulai frustasi dan setiap kali terinspirasi oleh pikiran-pikiran negatif yang terlalu jauh tentang Musthafa. Lantas, bagaimana caranya agar ia dapat menjelaskan sikap acuh kekasih dan suaminya itu? bukankah, paling tidak selayaknya ia berkirim surat kepadanya, meski hanya berupa surat singkat? Tidakkah termasuk hal yang bijak bila ia mengirimkan foto, setelah ia tahu bahwa Hasanah tidak memiliki fotonya?
Pikiran-pikiran semacam itu terkadang membuatnya bersikap keras dan terkadang malah menjadikannya lemah. Sementara, ketika ia tidak ingin mempercayai kenyataan yang tengah dihadapinya, ia berusaha menghadapi sikap Musthafa tersebut dngan memikirkan berbagai kemungkinan positif dan berusaha melakukan berbagai pembenaran. Mungkin ia sedang sibuk, mungkin ia malu menulis surat-suratnya itu tidak sampai. Kemungkinan terakhir inilah yang sangat didambakannya. Sebab, ia senang sekali bila membayangkan Musthafa telah menulis surat kepadanya, seperti yang dilakukan ornag lain, mempedulikan serta memikirkannya, sebagaimana kepedulian dan perhatiannya kepada Musthafa.
Disamping itu, ia juga menanti kedatangan adik Musthafa, yang sedang berada ditempat jauh, bila telah menyelesaikan pendidikannya. Mungkin, ia tahu sesuatu tentang kakaknya. Hasanah berusaha menghalau pikirannya agar tak menerawang lebih jauh dengan memperbanyak membaca dan menulis.
Suatu ketika, tatkala ia sedang duduk dikamarnya sembari membaca buku, Riahb masuk menemuinya. Ia sangat heran melihat kedatangan Rihab , karena itu tidak seperti biasanya. Oleh karena itu, ia menyambut kedatanagannya dengan hangat. Lantas, Rihab pun duduk ditubir tempat tidur Hasanah. Pada raut wajah Riahb terlihat jelas bahwa ia sedang galau, seolah tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Hasanah segera berkata, "Aku lihat hari ini engkau tak masuk kerja, Rihab. Semoga engkau tidak dalam keadaan sakit..."
Rihab menggelengkan kepalanya. Dengan nada bingung ia berkata, "Sebenarnya, aku merasa sangat pusing. Oleh karena itu, aku menghubungi temanku disanaagar ia memintakan izin sehingga dapat menggantikanku. Sekarang aku merasa jenuh, apakah engkau punya buku yang dapat kubaca?"
Hasanah terheran-heran atas permintaan adiknya. Bukankah adiknya tahu bahwa ia tidak mengoleksi buku-buku yang diminati adiknya itu? Lantas, ia berusaha menghilangkan rasa herannya itu dengan menjawab, "Lihat saja, disana banyak buku-buku. Carilah buku yang kau sukai, Rihab."
Rihab bangkit dan mulai memeriksa buku-bukuitu. SementaraHasanah memperhatikannya, ingin tahu buku apa yang dipilihnya. Ia terkejut ketika tahu bahwaa yang dipilih adiknya adalah sebuah buku tentang keimanan dan buku Maukib al-Nur berkenaan dengan sejarah Rasulullah saw. Sepertinya, Riahb tak tahu apa yang harus dilakukan terhadap kakaknya dan apa yang harus ia jelaskan mengenai keinginannya untuk mempelajari buku-buku tersebut. Oleh karena itu, ia segera keluar kamar sebelum kakaknya bertanya apa-apa.
Lain halnya dengan Hasanah, ia sangat senang. Alangkah indahnya bila Rihab kembali ketaman iman. Ia sangat bahagia saat menemukan kembali adiknya yang hilang dan sekarang mulai mencari petunjuk . Ia bahagia dan kebahagiaan itu menjadikannya lupa sesaat akan penderitaan yang sedang dirasakannya. Ia membayangkan, Rihab berubah total dan aktif mengikuti pengkajian islami, kemudian datang seorang pria agamis dan bijak melamarnya, seseorang seperti Musthafa...
Sampai disitu, angan-angan Hasanahpun pudar, "Musthafa..., apa yang terjadi pada Musthafa?" Setelah itu, pikiran-pikiran gelap kembali menghantuinya. Ia pun kembali berusaha mengembalikan konsentrasinya pada baris demi baris tulisan dalam buku yang sedang dipegangnya.
Rihab hanyut dalam dua buku yang dipelajarinya, tetapi ia tidak lupa menulis surat untuk Musthafa. Ia menjadi merasa perlu untuk mendapat tambanhan informasi. Karena itu, ia pun menulis:
Musthafa yang terhormat
Mungkin aku terlambat membalas suratmu. Namun, mempelajari dua buku yang engkau anjurkan, telah membuatku sibuk sekarang. Kini, biarlah kukatakan padamu bahwa engkau telah berkomunikasi denganku secara baik dan dapat aku terima.
Aku telah membaca buku sejarah Rasulullah saw yang engkau beritahukan padaku. Hari-hari telah kulalui dengan indah bersamanya dan aku mengetahui tentang Rasulullah saw sesuatu yang belum kuketahui sebelumnya. Begitu juga halnya dengan buku tentang keimanan yang telah menjawab banyak pertanyaan-pertanyaanku. Namun, masih ada pertanyaan yang tersimpan dibenakku, seperti dulu,bahkan hingga kini , bahwa aku belum memahami, bagaimana mungkin aku menyembah Tuhan yang tidak pernah kulihat dan tak pernah tersentuh oleh panca indera, yang merupakan sumber dari semua pengetahuan. Tidakkah, dalam ibadah itu, terkadang unsur paksaan yang muncul dari angan-angan?
Aku menyesal lantaran pertanyaan-pertanyaan ini mungkin mengejutkanmu. Tetapi, aku merasa butuh untuk mengetahui jawabanmu. Kebutuhan ini sering menyebabkanku merasa gelisah. Semoga, pada surat-suratmu atau pada pembahasan tentang masalah keimanan, ada sesuatu yang membuatku mantap.
sampai disini dulu. Aku berharap seluruh kebaikan tercurah untukmu dan mohon maaf.
Hasanah

Senin, 26 November 2007

Satu Pria Dua Wanita (2)

Musthafa menerima surat itu. Ia menerimanya dengan senang dan penasaran. Dengan cepat ia buka surat itu dan mulai membacanya. Rasa senang dan bahagia masih mengiringinya.
Namun, segera saja wajahnya berubah. Ia merasa terpukul dan kecewa. Ia tercengang heran membaca isi surat itu dan berusaha menganggap keliru apa yang telah dibacanya. Ia membacanya kembali, tapi ia malah menjadi yakin, itulah kenyataannya.
Ya, itulah Hasanah, perempuan yang beriman, baik dan suci. Seorang perempuan pilihan Zainab, kakanya, untuk dirinya. Perempuan yang telah dipuji setinggi langit oleh Zainab; sampai-sampai ia langsung melamar walau belum pernah bertemu. Benar, ialah Hasanah, seseorang yang telah dijadikannya sebagai pendamping hidup untuk bersama-sama merengkuh cita-cita nan tinggi serta harapan-harapan indah. Tetapi, tiba-tiba saja ia menulis dan mengatakn dengan terus-terang bahwa ia tidak beriman akan keberadaan Allah SWT.
Betapa parahnya? Bagaimana mungkin itu terjadi? Bagaimana mungkin Zainab tertipu begitu, padahal Hasanah adalah teman karibnya? Lantas, bagaimana caranya menghadapi kenyataan yang pahit ini?
Ia pun berpikir keras untuk menentukan sikap, setelah keguncangan batinnya sedikit mereda. Yang terlintsas dibenaknya pertama kali adalah ia ingin mengirimkan surat itu pada Zainab, sekaligus memintanya menjadi wakil untuk menceraikan Hasanah. Namun, ia mengurungkan niatnya itu lantaran dibenaknya terlintas, seandainya ia langsung menceraikannya, itu berarti ia telah lari dari tanggung jawabnya sebagai suami, yaitu tanggung jawab dalam melakukan amar makruf nahi mungkar. Mudah-mudahan, ia mampu memberikan petunjuk kepadanya. Setelah itu, baik Hasanah mau menerima ataupun tidak, ia dapat menentukan sikap selanjutnya dengan sesuka hatinya.
Ia terus berpikir dan setiapkali ia berusaha menemukan jalan keluar, lagi-lagi cara itulah yang dianggapnya paling tepat. Karena itu, Musthafa mulai menulis surat. Ia ingin sekali, suratnya itu tidak lebih dan tidak kurang, hanyalah merupakan jawaban atas keraguan Hasanah:
Dengan nama Allah yang Mahakasih dan Mahasayang
Aku sangat menyesal lantaran terlambat menulis surat balasan untukmu. Namun perlu engkau ketahui bahwa disaat-saat itu, aku sedang berusaha menghilangkan perasaan terpukul dalam hatiku, lantaran beban yang kaukirimkan melalui suratmu yang terus-terang.
Kemudian, tatkala aku tak kuasa menanggung beban rasa tersebut, tak ada yang dapat kulakukan selain menjalankan kewajiban agamaku dalam mengjadapimu. Sikap tak butuh terhadap agama yang nampak dalam tulisan disuratmu itu adalah sikap yang sungguh menyedihkan. Apakah engkau sedang terpedaya oleh sebuah jalan keluar yang kau sebutkan dalam suratmu itu? Aku tak tahu, keadaan yang patut disesalkan yang bagaimanakah yang menyebabkan engkau berpikir seperti itu.
Seperti yang tersirat dalam suratmu, engkau sebenarnya adalah salah seorang yang menjadi korban penipuan dan kesesatan. Karena itu, surat ini kutulis sebagaimana seorang kakak yang menulis surat kepada adiknya; dengan dasar rasa tanggung jawab sosial dan agama terhadapmu.
Adapun yang engkau tuliskan tentang tidak butuhnya kita, khususnya akan keimanan kepada Allah SWT dan selanjutnya kepada agama, maka ketahuilah bahwa iman kepada Allah SWT tidaklah seperti yang engkau bayangkan bahwa buah dari masa lalu kesesatan manusia. Sebab, keberadaan iman kepada-Nya itu jauh lebih awal daripada kesesatan dan telah ada jauh sebelum adanya perbedaan dan konflik antar kelas sosial. Ia bukan merupakan hasil dari perselisihan kelas sosial seperti yang engkau bayangkan. Sebab, kalau tidak demikian, konflik kelas seperti apakah yang dapat digambarkan seseorang yang terjadi diawal penciptaan?
Sebab, saat itu, yang ada adalah makanan yang sama, pakaian yang sama, dan batas pengetahuan yang sama pula. Iman kepada Allah SWT sudah ada sejak awal penciptaan dan sejak manusia mengenal arti keberadaan(wujud).
Mungkin, disini engkau akan bertanya-tanya, bagaimana mungkin aku dapat mengatakan hal seperti itu dan sekaligus meyakininya? Namun, tidaklah engkau lihat bahwa segala sesuatu pasti memiliki tanda-tanda dan keberadaan tanda-tanda sesuatu itu terlukiskan pada lembaran-lembaran sejarah, dan sejarah tersebut telah mengajak kita kearah itu dengan sangat jelas?
Aku berikan, sebagai contoh, Mesir, yang pendudukannya termasuk diantara bangsa-bangsa yang paling berakar kepercayaannya kepada ruh, hari kebangkitan, serta adanya pahala dan siksaan. Tentu saja, sesuai dengan tingkat pemahaman mereka yang masih dasar ketika itu. Mereka memberi tanda pada ruh dengan berbagai macam simbol; kadangkala dengan tanda tertentu, dan adakalanya dengan simbol seekor burung berkepala manusia. Simbol dan tanda-tanda tersebut hingga kini masih nampak jelas pada peninggalan-peninggalan sejarah Mesir Kuno dan lembaran-lembaran sejarahnya.
Peribadahan mereka yang pertama ditunjukkan kepada Fattah(penguasa negeri) dan, dimasa itu, mereka tidak berusaha untuk mendekatkan diri pada makna-makna ruhani, sebagaimana yang terdapat pada salah satu bentuk shalawat Fattah yang berkaitan dengan dirinya, "Hati dan lisan untuk sesembahana dan dari keduanyalah muncul pemahaman dan pembicaraan apapun, sekalipun itu dari akal dan lisan para dewa, manusia, makhluk hidup dan semua yang memiliki wujud, kecuali keduanya merupakan wahyu dari Fattah".
Setelah itu, tatkala Ikhnatun menguasai negeri, ketika itu, ia mulai meluruskan ibadah yang biasa dilakuakn. Itu seperti yang tertulis pada bentuk shalawatnya, yang terpelihara oleh sejarah, "Betapa banyak ciptaan-Mu yang tidak kami ketahui. Engkau adalah Tuhan yang Mahaesa, yang tiada tuhan selain Engkau. Engkau telah terbebas dari selain-Mu, karena itu Engkau ciptakan alam inidengan manusia, hewan dan segala sesuatu yang besar dan yang kecil didalamnya."Ini di Mesir.
Adapun di India, para sejarawan berselisih pendapat tentang urutan sejarah negeri tersebut. Mereka berbeda pendapat dalam hal membatasi masa telah sempurnanya suatu agama bagi mereka serta telah sempurnanya keyakinan terhadap pemikiran tentang keberadaan Tuhan yang disembah. Sebagian sejarawan berpendapat bahwa itu terjadi pada 1.500tahun sebelum masehi. Sebagian lain mengatakan itu terjadi 6.000 tahun sebelum masehi, sebagaimana dikatakan Marx Moeller yang dijadikan sebagai sandaran oleh bangsa-bangsaEropa. Ia berkata, "Kapanpun waktu pengumpulan nyanyian-nyanyian ritual mereka, maka sebelum itu ada suatu masa dimana ada diantara orang-orang India yang beriman kepada Tuhan yang Mahaesa, yang tidak laki-laki dan tidak pula perempuan, serta tidak dibatasi oleh sifat-sifat dan batasan-batasan tertentu yang ada pada manusia."
Moeller juga menjelaskan, "Nyanyian keagamaan India yang dinyanyikan oleh orang-orang India pada lima abad sebelum masehi, telah diinterprestasikan menjadi sebuah ungkapan sebagai berikut, "Disana tidak ada siang dan malam, serta tidak ada sesuatu apapun, kecuali itu merupakan nafas dari Dia Yang Mahaesa, yang tidak ada nafas-nafas yang keluar ataupun sesuatu apapun selain-Nya."
Begitu juga halnya di Cina, penduduknya pernah menyembah matahari, bulan, bintang, juga angin. Dan Tuhan terbesar yang mereka sembah adalah Tuhan Langit. Bagi mereka, Tuhan Langit adalah Tuhan yang menjalankan seluruh alam dan mengatur segala sesuatu. Dia jugalah yang telah menuliskan garis kehidupan pada setiap insan.
Di Persia, ini tergambar pada ucapan Zerodist tatkala ia memohon kepada Hermaz yang disembahnya, "Wahai Hermaz yang Mahakasih, pencipta alam yang nampak ini. Wahai yang Suci dan paling suci, adakah yang lebih kuat dari seluruh kerajaan dan kekaisaran?" Maka Hermaz menjawab, "Nama-Ku-lah yang terpancar pada ruh-ruh. Dialah yang terkuat diantara yang kuat diseluruh kerajaan."
Sebagaimana, mereka juga meyakini adanya sebuah jembatan yang dinamakan dengan jembatan Syinfada. Pada jembatan tersebut ruh orang-orang yang baik dan jahat memperoleh perlakuan tertentu yang sama, setelah mereka terlepas dari jasad-jasadnya. Disitu, mereka bertemu dengan Rasynuh(malaikat keadilan) dan Mitra(dewa cahaya). Keduanya meletakkan neraca dan bertanya kepada mereka tentang kesalahan-kesalahan dan syafaat-syafaat. Setelah itu, keduanya membukakan untuk mereka pintu surga atau pintu neraka.
Di Babylonia(Irak) terdapat kebudayaan yang merupakan kebudayaan tertua sepanjang sejarah. Bekas-bekas peninggalan kepercayaan mereka terhadp sang Pencipta masih terkam kuat pada peninggalan sejarah diwilayah tersebut. Diantaranya adalah adanya Aya(Tuhan air tawar), Ann(Tuhan langit) dan Mardukh(Tuhan para tentara dan pemimpin perang).
Dalam sejarah Yunani Kuno, terdapat seseorang yang bernama Aksinufun(Xenophanes), yang dilahirkan enam abad sebelum masehi. Ialah orang pertama yang menanamkan kepada bangsa Yunani pemikiran tentang Tuhan yang Mahaesa, yang tidak menyerupai sesuatu apapun. Ia mengritik kaumnya lantara mereka telah menyembah dewa-dewa, seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang gemar membuat kerusakan.
Begitulah, kita dapat menyimpulkan dari sejarah bahwa manusia sesungguhnya telah beriman terhadap pemikiran tentang adanya Tuhan yang Mahaesa, ribuan tahun sebelum masehi.
Inilah, wahai Hasanah, catatan mungil dan sekelumit sejarah yang menunjukkan dengan jelas akan adanya pemikiran tentang keimanan kepada Allah SWT, yang telah lebih dulu ada dibanding semua sebab yang telah engkau sebutkan. Dan ketika aku menyebutkan sejarah-sejarah tersebut kepadamu, aku tidak bermaksud mengatakan bahwa semua itu adalah pemikiran dan keyakinan yang benar dan cemerlang. Pemikiran tersebut telah mengalami perubahan, sebagaimana yang telah engkau lihat disemua masa dan disemua tingkat perubahan pemikiran yang engkau lalui.
Pemikiran tersebut juga telah dirusak oleh pemikiran-pemikiran yang cenderung pada ha-hal yang berbau materi dimasa tersebut. Oleh karena itu, banyak sekali lita temukan bahwa pemikiran-pemikiran itu telah berbeda dengan konsep keimanan kepada Zat Yang Mahaesa dan Mahamutlak. Walaupun menunjukkan dengan jelas adanya keimanan kepada Allah SWT, namun itu sesuai dengan tingkat kematangan berpikir ketika itu.
Semoga surat ini tidak terlalu panjang bagimu. Mudah-mudahan engkau mau membaca buku "Kitab Allah" yang ditulis oleh Aqqad, agar pengetahuanmu lebih bertambah ketimbang apa yang telah kusebutkan, serta menambah keyakinanmu daripada apa yang telah kutulis. Allah SWT berada dibelakang maksud ini, dan semoga semua kebaikan dilimpahkan kepadamu...
Musthafa
Selesai membaca surat itu, Rihab tak dapat tidur. Ia begadang memikirkan tulisan Musthafa tersebut; berusaha membandingkan isi surat itu dengan apa yang diketahuinya, guna menemukan mana diantara keduanya yang lebih kuat, yang sesuai dengan kaidah-kaidah yang benar, serta keyakinan-keyaikinan yang paling dalam. Sayang, usahanya itu tak membuahkan hasil. Ia pun mulai menjadi keras kepala dan egois. Itulah yang selalu menguasainya selama ini.
Pagi-pagi benar, sebelum bertemu Hasanah, ia menulis surat balasan. Ia khawatir bila bertemu dengannya, maka rasa iba akan mempengaruhi tulisannya. Terlebih, ia melihat akhir-akhir ini Hasanah lebih sering berdiam diri, tidak ceria, dan terkadang nampak pucat. Ia tahu betul, penyebabnya adlah lantaran Musthafa, yang hingga kini, menurut perkiraan Hasnaah, belum mengirimkan sepucuk suratpun untuknya. Adakalanya, Rihab merasa kasihan padanya dan kadang pula ia merasa menderita bila rasa sesal menghantuinya. Oleh karena itu, ia bergegas menjawab surat Musthafa itu sebelum ia keluar melewati kamar Hasanah. Dihari yang sama, ia segera mengeposkan suratnya:
Musthafa yang terhormat
Aku heran sat kulihat engkau sangat terpukul lantaran keterbukaankudisurat pertamaku itu. Sebenarnya, yang aku tunggu darimu adalah kata-kata yang lembut dan halus, seperti disuratmu terdahulu. Akan tetapi, dibalik ketegasan pemikiranmu, engkau telah meninggalkan sisi kasih sayangmu.Mungkin, engkau melihatku tak layak mendapatkannya. Karena itu, akupun mengabaikannya.
Bagaimana, jawabanmu yang mendahulukan iman kepada Allah SWT itu baik dan bukti-bukti sejarah yang engkau tuliskan cukupjelas. Namun, aku tetap beranggapan bahwa iman kapada Allah tak lain hanyalah batu lompatan bagi orang-orang lemah, manakala mereka merasa lemah dihadapan orang-orang kuat. Orang lemah itu, tatakala menganggap dirinya lemah dlam menjaga diri dan mencegah bahaya, mulai mencari sumber kekuatan khayali yang dapat melindungi dan menjaganya dari bahaya. Dari sinilah muncul pemikiran tentang keimanan kepada Allah. Selanjutnya pemikiran tentang agama.
Inilah yang aku yakini, wahai Musthafa. Tatkala kita bukan orang-orang lemah, atau ketika kita mampu mencegah bahaya dari diri kita dengan berbagai macam bentukperlindungan yang sekarang telah banyak ditemukan, maka kita tidak perlu demikian(beragama). Untuk apa kita kembali menghubungkan diri kita dengan sesuatu yang tidak kita ketahui hanya untuk memperoleh kekuatan darinya yang sebenarnya tidak sulit bagi kita dimasa seperti sekarang ini? Benar, untuk apa? Semoga engkau dapat menjawabnya, jika mungkin. Sekian dulu suratku, salamku untukmu. Aku tunggu jawabanmu.

Satu Pria Dua Wanita (1)

Sekarang, setelah semuanya siap, Hasanah akan duduk disinggasana kebahagiaan; membayangkan dirinya telah menggoreskan masa depan yangkan penuh dengan keceriaan.Saat ini, para tamu telah dan Hasanah telah berhasil mewujudkan cita-citanya: tepuk tangan meriah para tamu yang mengiringi upacara penyematan cincin dambaan hati dijarinya.Kini, Hasanah berhasil menanamkan keyakinan dihatinya bahwa ia akan merajut kehidupan rumah tangga nan bahagia dengan benang emas.
Sekarang, para tamu undangan telah kembali kerumahnya masing-masing, setelah memuji sang mempelai perempuan dan pasangannya.
Kini, semuanya telah terjadi, termasuk sesuatu yang sangat menyakitkanku. Aku kembali kekamarku, berselimutkan rasa kesal yang kian memuncak. Aku sendirian dan terasing disini. Adakah sesuatu yang lebih menyakitkan ketimbang keterasingan diri? Siapakah sebenarnya yang lebih layak menanggung perlakuan seperti ini ketimbang aku, diantara keluarga dan teman-temanku?
Mereka sungguh keterlaluan, menuduhku telah mempermalukan mereka kemudian menjauhiku dengan dalih bahwa aku sudah menyeleweng. Tapi, bukankah mereka sendiri yang menyimpang? Tidakkah acara yang baru saja mereka langsungkan itu adalah sebentuk penyimpangan? Bukankah alur pemikiran yang menjadikan pernikahan sebagai poros-putar gerak kehidupan adalah menyimpang?
Ya, mereka semua telah tersesat. Bahkan Hasanah juga, yang mengira telah menemukan sebuah jalan yang baik bagi dirinya dan menjadikan dirinya suci. Bukankah menyimpang ketika ia setuju menikah dengan seseorang yang belum pernah dilihat, apalagi dikenal?
Mengapa seseorang tak mau repot, meski itu untuk menghadiri akad pernikahannya sendiri dan malah mewakilkan kepada ayahnya? Itu lantaran, ia juga seorang yang taat beragama, yang kurang lebih sama menyimpangnya dengan Hasanah. Kalau tak mau dikatakan menyimpang, mengapa ia sudi meninggalkan gadis-gadis Eropa nan cantik dan memilih seorang istri seperti Hasanah?
Sungguh, ia telah meninggalkan semua kesenangan dan kegemerlapan. Ia adalah seorang pemuda yang tampan. Ya, tampan dengan segenap kecukupan secara materi. Karenanya, keanehan apakah yang mendorongnya memilih Hasanah dan meninggalkan kemewahan Inggris? Memang, Hasanah tergolong tergolong cantik juga dan memiliki status sosial yang tinggi. Namun, aku tidak suka padanya. Aku tak dapat menduga nasibnya lantaran dipersunting laki-laki itu. Sekarang keduanya telah menikah dan mereka pasti takkan bahagia.
Begitulah, Rihab berbicara sendiri. Setelah itu, ia berusaha mencari kesibukan, mengambil sebuah buku cerita yang ditulis oleh Najib Mahfudh. Judul buku itu adalah La Syai-a Yuhimmun(Tak Sesuatupun Yang Penting). Ia mulai membaca buku itu dan berusaha membenarkan bahwa tak sesuatupun yang dapat dianggap penting. Kemuliaan tidaklah penting, hati inipun tidak penting. Oleh karena itu, ia terkadang terlena membaca kisah yang ditulis untuk orang-orang sepertinya itu. Ia membaca buku itu hingga larut malam.
pertama
Pagi harinya, Rihab terlambat bangun. Dengan rasa malas yang menyelimut, ia bangkit dari tempat tidurnya. Sayup-sayup terdengar suara ibu dan saudarinya, memanggil dari kamar sebelah. Iapun keluar menemui mereka, memaksakan diri untuk tersenyum. Disitu, nampaklah Hasanah dengan raut muka yang berseri-seri dan berbinar; menggambarkan kebahagiaan. Itu membuat hati Rihab terbakar oleh dengki dan cemburu. Namun, ia berusaha menyembunyikan perasaannya itu dan segera menemui mereka, seolah-olah tak menyimpan oerasaan apa-apa.
Lantas, ia mengitari Hasanah sembari berkata, "Bagaimana kabarmu, wahai pengantin?"
Hasanah menjawab, "Baik, Alhamdulillah. Semoga engkaupun dipersunting dalam waktu dekat..."
Kata-kata itu seolah menyalakan api cemburu dan dengki pada diri Rihab. Ia pun menjawab dengan cemoohan, "Ya, ...Mudah-mudahan nanti ada seorang dari benua Afrika mengirimkan utusan untuk meminangku, sebagaimana seseorang dari benua Eropa yang telah mengirim utusan untuk meminangmu. Seperti, laki-laki sudah tidak ada lagi disini..."
Hasanah nampaknya tak ingin membuka perdebatan dengan adiknya itu. Ia menjawab singkat, "Adikku! Allah lebih tahu, mana yang terbaik."
Mendengar jawaban itu, Rihab tertawa mengejek seraya berkata, "Sungguh, aku tahu bagaimana membina masa depanku sendiri, Hasanah! Aku tak sepertimu yang menjalin hubungan dengan seseorang yang engkau sendiri tidak tahu-menahu tentangnya."
Saat itu, Hasanah melihat bahwa ia perlu menjawab ucapan tadi untuk membela pemikiran yang diyakininya. Ia berkata, "Bagaimana engkau dapat berkata bahwa aku tak mengenal sedikitpun, padahal aku tahu semua tentangnya. Cukuplah kalau dikatakan, dia seorang yang agamis."
Rihab kembali berkata, "Apakah agama segalanya, Hasanah? Engkau bukan orang tua...Aku khawatir, engkau kan menyesal lantaran terlambat menyadari kenyataan ini!"
Hasanah balik bertanya kepada Rihab, "Kenyataan apa yang engkau maksudkan?"
Rihabpun menjawab, "Contohnya saja pengantin baru, dihari-hari seperti ini seharusnya tak berpisah sesaatpun dengan kekasihnya, agar ia dapat mencegahnya menjalin hubungan dengan orang lain. Tidak seperti dirimu, yang duduk-duduk diruangan ini, sedangkan orang yang mempersuntingmu dan yang jiwamu telah kau serahkan padanya berada dipelukan penyanyi-penyanyi wanita."
Berusaha mengendalikan diri, Hasanah berkata, "Aku menyesal harus mengatakn bahwa engkau keliru, adikku. Aku tidak menyerahkan diriku kepada seseorang yang bergaul dengan para penyanyi wanita. Musthafa adalah seorang yang beriman dan istiqamah, tidak memalingkan kedua matanya kewajah para penyanyi wanita, walau sekalipun. Inilah yang mendorongku untuk menerimanya dengan senang hati dan tangan terbuka. Selama aku tahu ia memiliki kepribadian dan agama yang baik, maka aku meyakininya, baik ketika ia dekat maupun jauh. Sebab, itu merupakan hal yang selalu membentanginya, dimanapun ia berada, diMekah ataupun Paris."
Rihab berusaha menjawab kembali. Namun, ibunya ingin agar perdebatan itu dihentikan. Ia menengahi mereka berdua seraya berkata, "Sudah..., sudah...! Kalian berdua kan masih banyak pakerjaa, dan akan datang banyak tamu hari ini."
kedua
Hari demi hari dilalui Hasanah dengan penuh keceriaan, bila tak ada gangguan dari Rihab. Adapun Rihab, melalui hari-harinya dengan muram dan waktu terasa lambat baginya. Ia sangat marah lantaran Hasanah beoleh kebahagiaan dan ucapan selamat secara bertubi-tubi dari orang-orang, sementara ia sendiri tidak.
Setelah seminggu, tatkala pulang dari kerja, Rihab bertemu dengan petugas pos yang hendak mengetuk pintu rumah. Saat pegawai pos itu tahu kedatangan Rihab, ia menyerahkan sepucuk surat yang ditujukan kepada saudarinya, Hasanah. Dari cap pos yang tertera disurat itu, Rihab tahu bahwa surat tersebut berasal dari Musthafa. Ia pun menerima surat itu dengan tangan gemetar dan dengan semerta-merta memasukkannya kedalam tas. Ia masuk rumah dan tak memberitahukan itu kepada Hasanah. Setelah makan siang, ia bergegas kekamarnya. Disitu, dengan dorongan cemburu dan dengki dihati, ia membuka surat itu. Nampak didalamnya tulisan yang begitu indah, yang melambangkan kepribadian sipenulis. Ia mulai membacanya:
Dengan nama Allah yang Mahakasih dan Mahasayang
Cahaya hatiku, Hasanah, Wahai pilihanku, meski jauh dariku, inilah surat pertamaku.
Aku seolah telah hidup berdampingan denganmu, dihari-hari yang lalu, dengan berbagai kenangan yang hadir. Sebelumnya, aku menjalani hidup ini dengan angan-angan. Aku hidup sambil mendambakan kehadiranmu dan aku telah menjalani hidup ini dengan penuh kerinduan, setelah kuisi masa laluku dengan upaya untuk mendapatkanmu.
Sekarang, Allah SWT telah mewujudkan angan-anganku tatkala kutemukan pada dirimu harapan nan agung. Harapan yang ada padamu itu adalah harta karun yang tak ternilai harganya. Kutulis surat ini sembari berharap, semoga tulisan ini dapat menggantikan kehadiranku disisimu. Juga, agar aku dapat menceritakan keadaanku, yang mulai kini talah menjadi bagian dirimu.
Aku adalah seseorang yang mencintaimu hingga kelubuk hatiku, bahkan sebelum aku bertamu denganmu. Sebab, aku tahu bahwa engkau menyukai apa yang aku suka dan meyakini apa yang kuyakini. Aku orang yang benar-benar tulus kepadamu sejak pertama kali kita menjalin hubungan nan suci ini. Sebab, hubungan ini tak mungkin sempurna bilamana engkau tak tulus pada agamamu dan engkau tak menerimaku lantaran itu.
Aku adalah orang yang telah menemukan pendamping hidup, yang memiliki ruh dan pikiran yang sejalan, yang bebas dari hal-hal materi yang menipu. Karena semua itulah aku memilihmu, agar kita sama-sama membina kehidupan rumah tangga teladan, yang dihiasi iman dan doterangi cahaya al-Qur`an serta ditopang oleh pendidikan islami.
Semua itu adalah cinta, semua itu merupakan kasih sayang dan semua itu adalah keikhalasan dan kesetiaan. Keberadaanku seluruhnya, pertama, adalah untuk Allah. Dan, kedua adalah untukmu, selama keberadaanmu pun demikian; pertama untuk Allah dan kedua untukku. Semoga Allah memberikan keberkahan pada jalinan hubungan ruhani kita ini, menjaga cinta kita dengan penjagaan-Nya, serta mengukuhkan jalan kita agar dapat melangkah dijalan-Nya.
Sebagai penutup, sebenarnya aku ingin melanjutkan tulisan ini lebih dan lebih panjang lagi, karena begitu banyak hal yang ingin kusampaikan padamu. Namun, aku menunggu jawabanmu, agar aku dapat mengetahui juga perasaanmu disuratmu nanti, baik berupa surat singkat maupun panjang. Terimalah salam dan rasa cintaku, tetaplah bersama imanmu dan bersamaku selamanya.
Musthafa
NB: Terimalah fotoku yang aku sertakan bersama surat ini. Semoga engkau pun dapat mengirimkan fotomu secepat mungkin.
Selesai membaca surat itu, perasaan Rihab pun bertambah perih. Kata-kata indah yang tertulis didalamnya bak lautan api yang membakar habis jiwanya. Bisikan dengki dihatinya mendorongnya mengambil keputusan untuk tidak menyampaikan surat itu kepada Hasanah.
Sejak penerimaan surat itu, hari-hari Rihab dihabiskan dengan rasa sakit hati dan bingung. Ia sakit hati atas surat tersebut dan bingung lantaran memikirkan jalan keluar dari masalah yang dibuatnya sendiri. Tidak henti-henti ia membaca surat itu, dan setiap kali mengulanginya, semakin perih rasa sakit hatinya. Rihab berangan-angan, andai saja itu ditujukan kepadanya dan bukan kepada Hasanah!
Malam harinya, ketika jarum jam terus bergerak, rasa kantuk Rihab tak kunjung tiba. Ia termangu ditempat ditempat tidurnya dan kembali membaca surat Musthafa untuk yang kesepuluh kalinya. Ia berkata sendiri, "Tulisannya elok, wajahnya tampan, dan kata-katanya indah. Itu menunjukkan jiwa sipenulis jauh lebih indah. Hasanah pasti sangat gembira bila surat ini sampai ketangannya. Tak ragu, ia akan bahagia saat menerimanya. Sungguh, kebahagiaannya tak menyenangkankusedikitpun..."
Hingga disitu, Rihab ingin segera merobek surat itu, agar tak sampai ketangan Hasanah untuk selamanya. Namun, sebelum merobeknya, ia kembali tercengang dan mengurungkan niatnya, "Tidak, aku tidak akan merobek surat ini, tapi aku akan membakarnya. Dengan begitu, aku akan menikmati kobaran api yang melahap tulisan-tulisan agamisnya ini..."
Kemudian, ia bangkit dan berjalan kearah lemari, membuka pintunya, dan mencari-cari lilin didalamnya. Akhirnya, ditemukan disitu beberapa potong lilin kecil dengan beragam warna, berpitakan warna emas dengan tulisan: Selamat ulang tahun, semoga panjang umur, selalu bahagia, dan tetap beriman...
Rihab pun tertawa sinis. Ia mengambil sebatang sembari berkata, "Indah sekali..., aku akan membakar surat Musthafa dengan lilin yang diberikan Hasanah padaku. Ya, benar, inilah salah satu diantara beberapa lilin mungil yang pernah diberikannya padaku, dihari ulang tahunku yang ke-18. Hingga sekarang, liln ini tetap tersimpan rapi dilemari, menunggu saat digunakan untuk membakar surat Musthafa, termasuk membakar rasa bahagia dan rasa senangnya..."
Rihab meletakkan lilin itu diujung meja. Kemudian, ia mengambil surat itu dan mendekatkannya keapi. Disitu, kembali terlintas dibenaknya, "Apa gunanya aku membakar surat ini? Sebab, Musthafa pasti akan mengirimkan surat kedua dan ketiganya. Tak mungkin aku selalu secara kebetulan berada didepan rumah dan bertemu dengan pegawai pos, setiap kali ia mengantarkan surat-surat itu. Kalau begitu, hanya membakar surat ini saja, tidak akan menyelesaikan masalah..."
Oleh karena itu, ia berpikir sejenak. Dengan cepat, ia menemukan ide baru. Ia akan membalas surat untuk Musthafa, seolah itu surat dari Hasanah. Disitu ia akan berusaha untuk menghancurkan kepercayaan Musthafa kepada Hasanah. Ia nanti juga akan membubuhkan alamat lain yang bukan alamat rumahnya. Ini tentu tidaklah sulit. Sebab, dengan mudah ia dapat menggunakan nama dan alamat temannya.
Sekarang, tekadnya telah bulat untuk melaksanakan ide tersebut. Kalau begitu, ia harus menyimpan baik-baik surat itu, karena mungkin ia perlu merujuk pada tulisan yang didalamnya.
Rihab kembali kekamarnya, duduk dikursi, dan mulai menulis surat untuk Musthafa:
Yang Terhormat Musthafa
Suratmu telah kuterima diiringi ucapan terima kasih. Aku kagum melihat gaya bahasamu yang terpelajar dan kata-katamu nan lembut. Namun, adalah lebih baik bila engkau menulis surat tersebut dengan singkat. Sebab, aku tak suka menulis panjang lebar...
Adapun yang telah engkau katakan bahwa suratmu merupakan pengganti dari perjumpaan kita, itu adalah khayalan belaka yang terkadang terlintas pada diri seseorang yang biasa berkhayal, agar kerinduan temannya terpuaskan. Bila bukanuntuk itu, maka untuk apa ia menulis surat? Namun, mungkinkah temannya tercukupi dengan itu?
Selama ini, aku tak tahu dimana engkau, bagaimana keadaaanmu, hidup dengan cara apa atau dengan siapa engkau hidup? Sebab, engkau sekarang berada ditempat glamor, yang dipenuhi dengan seluruh gemerlap dan kesenangan hidup. Karena itu, aku pun bertanya-tanya, apa yang kan kau sisakan untukku? Lantas, tidakkah engkau tahu bahwa gaya hidup seperti itulah yang kudambakan untuk menghidupkan agama ini. Adapun cara yang kau sebutkan dalam suratmu itu, kupikir itu sudah tidak berguna lagi...
Tak terhitung, betapa banyak persaingan antar kelas sosial dalam sebuah masyarakat, atau kelompok-kelompok zalim yang memanfaatkan kedudukan dan pengetahuannya, sebagaimana disana juga terdapat sekelompok orang-orang lemah yang dimanfaatkan. Namun, semua itu mengajak kita kemudian untuk menemukan sisi kezaliman pada juru selamat dan mencari secercah cahaya pada kezaliman.
Kemudian, kita takkan mampu mendapatkan juru selamat lantaran kokohnya bangunan kezaliman. Begitu juga, kita tak mungkin dapat memberikan petunjuk menuju cahaya lantaran begitu pekat dan legamnya kegelapan ini. Karena itu, kita tak dapat mengkhayalkan hal tersebut, kecuali satu alternatif saja, yaitu dengan bantuan Yang Mahakuat. Dia lebih tinggi dan lebih kuat dari kezaliman itu sendiri. Setelah itu, kita dapat mulai memberikan inspirasi kepada diri kita khayalan akan kekuatan tersebut dan menantinya untuk menyelesaikan masalah-masalah serta mengangkat penderitaan-penderitaan kita.
Inlah yang menyebabkan para pakar membangun pemikiran tentang keimanan kepada Tuhan dan menciptakan agama. Oleh karena itu, tidaklah engkau meliahat bahwadiriku tak memerlukan apapun dari yang engkau sebutkan, setelah manusia tahu bagaimana cara mewujudkan keadilan dimaksud.
Begitulah, aku mohon maaf bila aku telah mendebatmu dengan pemikiran yang tak sesuai dengan pemikiranmu. Sebab, aku adlaah orang yang suka berterus-terang dan aku juga suka bergaul dengan orang lain secara terang-terangan. Salam sejahteraku untukmu selalu.
Hasanah
NB: Aku harap, engkau mengirimkan surat balasan dan semua surat-suratmu ke alamat ini:a.n. Anisah Miyadah Naji, Mudiriyyah Rai-Qismul Ihsha`.
Rihab bergegas mengeposkan surat itu kealamat yang telah diterkan Musthafa pada suratnya. Dihatinya tergores sedikit rasa sesal lantaran surat itu pasti dapat menghancurkan kebahagiaan kakanya. Akan tetapi, rasa dengki yang kuat mendorongnya untuk tetap mengirimkan surat itu dan tak peduli dengan rasa ibanya. Setelah itu, ia tinggal menanti hasil usahanya.

Jumat, 02 November 2007

Kota Basrah

Kamu adalah pasukan seorang perempuan dan dipimpin oleh seekor hewan berkaki empat. Bila ia menggerutu, kamu menjawab, dan bila ia terluka kamu lari. Pribadimu rendah dan janjimu pecah. Agamamu nifak, Airmu payau dan yang tinggal bersamamu tercemar dosa dan yang meninggalkanmu akan mendapat rahmat dari Mahakuasa. Aku seperti melihat masjidmu mencolok bak anjungan kapal, dan Allah mengirim azab kepadamu dari atas serta bawah dan tiap orang yang berada diatasnya akan tenggelam.
Demi Allah, kotamu tentu akan tenggelam sedemikian rupa, sehingga aku melihat masjidnya separti bagian atas sebuah kapal atau seeor burung unta yang sedang duduk.
Ditinjau dari tanahnya, kptamu adalah yang paling berbau busuk diantara semua kota Allah, paling jauh dari langit.Ia mengandung sembilan dari sepuluh malapetaka. Siapa yang masuk kedalamnya akan dikungkung oleh dosanya. Dan yang keluar akan menikmati pengampunan Allah. Aku seperti melihat desamu ini telah ditelan air sehingga tiada lagi bagiannya yang terlihat kecuali bagian paling atas masjid yang muncul seperti punggung seekor burung dilaut yang dalam.
Bumimu dekat laut dan jauh dari langit. Akalmu telah menjadi ringan dan jiwamu menjadi dungu. Kamu menjadi sasaran pemanah, suapan untuk pemakan dan mangsa bagi pemburu.
Nahjul Balaghah-Ali bin Abi Thalib-Khotbah: 13

Ikatan hati

"Aku ingin saudaraku hadir agar ia juga menyaksikan kemenangan yang diberikan Allah kepadamu", keluhan sahabat Ali dalam kemenangan terhadap pasukan Jamal.
"Apakah saudara anda menganggapku sebagai sahabat?"
" Ya" jawab sahabatnya.
Dalam hal ini ia bersama kita. Sebenarnya kita juga menyaksikan dalam pasukan kita ini kaum (yang masih berada) dalam sulbi kaum lelaki dan rahim kaum ibu. Sebentar lagi waktu akan mengeluarkan mereka dan iman akan menjadi kuat oleh mereka.
Nahjul Balaghah-Ali bin Abi Thalib-Khotbah: 12

Perang untuk Allah

Gunung-gunung dapat bergerak dari tempatnya, tetapi engkau tidak boleh bergerak dari tempatmu. Kertakkan gigimu.Pinjamkan kepada Allah kepalamu. Tanamkan kakimu kuat-kuat diatas tanah. Arahkan matamu kepada kaum yang paling jauh, dan tutuplah matamu(terhadap jumlahnya yang bergerak). Dan ketahuilah bahwa penolong itu tiada lain kecuali Allah Yang maha Suci.
Nahjul Balaghah-Ali bin Abi Thalib-Khotbah: 11

Thalha bin Ubaidillah dan Zubair

Perhatikan! Betapa setan telah mengumpulkan kelompoknya dan menghimpun pasukan berkuda dan infantri. Dan sungguh bersamaku adalah pengamatanku. Aku tidak pernah menipu diriku atau tertipu. Demi Allah, aku akan mengisi penuh bagi mereka sebuah waduk tempat mengamil air. Mereka tidak daoat pergi dan tidak dapat kembali kepadanya.
Nahjul Balaghah-Ali bin Abi Thalib-Khotbah: 10

Sifat pasukan Aisyah

Mereka mengguntur seprti awan dan bersinar seperti kilat tetapi mereka bertindak pengecut, sementara kami tidak mengguruh sampai kami menyerb, tidak juga kami menunjukkan arus(kata-kata)sampai kami benar-benar menghujani mereka.
Nahjul Balaghah-Ali bin Abi Thalib-Khotbah: 9

Baiat Zubair ibnu Awwam

Ia mengatakan bahwa ia membaiatku dengan tangannya tetapi ia tidak membaiat dengan hatinya. Maka ia telah mengakui pembaiatan. Tentang tuntutannya(bahwa ia melakukannya) bertentangan dengan hatinya maka seharusnya ia datang langsung dengan alasan-alasannya. Sebaliknya, ia seharusnya kembali ketempat ia datang.
Nahjul Balaghah-Ali bin Abi Thalib-Khotbah: 8

Munafik

Mereka membuat setan sebagai penguasa masalah mereka dan setan menganggap mereka sebagai serikat. Ia telah bertelur dan mengeraminya didada mereka. Ia merayap dan merangkak dipangkuan mereka. Ia melihat dengan menggunakan mata mereka dan mengucap dengan ucapan mereka. Dengan jalan ini ia menuntun mereka kedalam dosa dan menghiasi mereka dengan hiasan yang kotor seperti tindak-tanduk seorang yang telah dijadikan kawan oleh setan dalam wilayah kekuasaannya dan berbicara batil melalui lidahnya.
Nahjul Balaghah-Ali bin Abi Thalib-Khotbah: 7

Komitmen

Demi Allah, aku tidak ingin menjadi seperti rubah yang tidur lelap karena mendengar bunyi lemparan batu yang berkesinambungan, sehingga pencari menemuinya dan pengintai menguasainya. Tetapi, aku akan tetap menyerang penyeleweng kebenaran dengan pertolongan dari mereka yang menyambut kebenaran dan menyerang pembuat dosa serta mereka yang ragu, dengan bantuan mereka yang yang mendengar dan taat kepadaku sampai hari ajalku tiba. Demi Allah, hak selalu dirampas sejak Allah mengambil nabi-Nya sampai hari ini.
Nahjhul Balaghah-Ali bin Abi Thalib-Khotbah: 6