Selasa, 11 Desember 2007

Adab-adab Waktu Shalat

Ketahuilah, bahwa para ahli ma`rifat dan pemilik kalbu sesuai dengan pengetahuan mereka akan maqam rububiyyah yang suci dan kadar kerinduan mereka bermunajat dengan hazrat al-Bari yang mulia nama-Nya, mereka menjaga dan menekuni waktu-waktu shalat sebagai waktu munajat dan tempat perjumpaan dengan al-Haqq. Mereka senantiasa menjaga semua itu. Orang-orang yang terpikat dengan keindahan Yang Indah, ber-asyiq ma`syuq, tergila-gila oleh kemolekan dan keindahan azali, serta mabuk kepayang karena gelas cinta dan oingsan karena piala alastu(janji yang mereka emban dari Tuhan). Mereka telah bebas dari dua alam dan berpaling dari semua batas dan wilayah wujud serta bergelantungan dengan kemuliaan keindahan Allah yang suci. Mereka senantiasa hadir. Sesaatpun mereka tidak meninggalkan berzikir, tafakkur, musyahadah dan muraqqabah.
Mereka, para ahli ma`rifat, pemilik keutamaan-keutamaan dan jiwa-jiwa yang berkarakter mulia, tidak mengutamakan sesuatu selain bermunajat dan mencari kesempatan berkhalwat dengan al-Haqq. Mereka memandang, bahqa kemuliaan, kebesaran, keutamaan dan ma`rifat, semua itu berada pada mengingat dan bermunajat dengan al-Haqq. Mereka itu, jika memperhatikan dan memandang dua alam, pandangan dan perhatian mereka seperti perhatian dan pandangan kaum urafa. Mereka mencari al-Haqq dialam ini, dan memandang seluruh maujud sebagai perwujudan dari al-Haqq Ta`ala dan keindahan Yang Mahaindah.
Sa`di bertutur, "Aku mencintai semua alam, karena semuanya berasal dari Dia."
Mereka menjaga waktu-waktu shalat dengan segenap ruh dan hati mereka. Mereka menanti-nanti saat bermunajat dengan al-Haqq. Mereka menghadirkan jiwa mereka dan menyiapkannya pada sat berjumpa dengan al-Haqq. Hati mereka hadir. Mereka mencari Yang Hadir ditempat kehadiran-Nya. Mereka menghormati tempat itu karena kehadiran Yang Hadir. Mereka berpendapat, bahwa `ubudiyyah ialah berkomunikasi dan berhubungan dengan Dzat Mahasempurna yang mutlak. Kerinduan mereka pada ibadah berdasarkan pemahaman seperti ini.
Mereka adalah orang-orang yang mengimani segala yang gaib dan alam akhirat, mendambakan semua kemurahan al-Haqq Jalla Jalaluhu, serta tidak menggantikan nikmat-nikmat surgawi yang abadi dan kesenangan-kesenangan yang kekal dengan nasib-nasib duniawi dan kesenangan-kesenangan yang kurang, bersifat sementara dan tidak murni.
Pada saat beribadah, yang merupakan benih-benih kelezatan ukhrawi, mereka juga menghadirkan hati mereka dan melaksanakan perintah ini dengan penuh kesungguhan dan kerinduan. Mereka menanti waktu-waktushalat, karena itulah saat untuk mendapatkan berbagai keberuntungan dan menggapai perbendaharaan-perbendaharaan yang berharga. Mereka tidak memilih sesuatu, selain kenikmatan-kenikmatan yang abadi.
Lantaran hati mereka mengenal alam gaib, mengimani semua kesenangan abadi dan seluruh kelezatan yang kekal dialam akhirat, maka merekapun memanfaatkan waktu mereka dan tidak menyia-nyiakannya. Mereka adalah para penghuni surga dan pemilik nikmat. Mereka akan kekal abadi didalamnya.
Mereka semua itu, dan sebagiannya lagi yang belum disebut, menganggap bahwa ibadah merupakan kesenangan-kesenangan yang sesuai dengan martabat dan pengetahuan mereka. Mereka beribadah tanpa paksaan dan tekanan sama sekali.
Adapun kita adalah orang-orang yang miskin, yang terbuai angan-angan, yang terbelenggu rantai-rantai hawa nafsu duniawi serta tenggelam dalam lautan tabiat yang melimpah dan gelap, yang tidak sampai kepada kita bau aroma cinta dan isyq ruhaninya, dan yang indera perasa hatinya tidak merasakan lezatnya irfan dan keutamaannya. Kita bukanlah ahli irfan, juga bukan pemilik keimanan dan ketentraman. Karenanya, kita memandang semua ibadah ilahiah sebagai suatu beban dan tekanan dan munajat dengan Dzat yang menunaikan hajat-hajat sebagai suatu yang dipaksakan.
Hati kita tidak cenderung, kecuali kepada dunia yang berupa makanan dan binatang. Kita tidak bergantung, kecuali kepada tempat tabiat dan tempat i`tikafnya orang-orang zalim. Mata hati kita telah buta dari keindahan Yang Maha indah, dan indera perasa ruh kita pun telah kehilangan rasa irfaniahnya.
Sesungguhnya, Penghulu mata rantai Ahlul-Haqq dan Puncak para pecinta dan ahli hakikat, Rasulullah saw, bersabda, "Daku bermalam disisi Tuhanku, dan Dialah yang memberiku makan dan minum." Ya Rabb, gerangan apamaksud dari bermalamnya Muhammad bersama-Mu ditempat khalwat dan Uns itu? Makanan dan minuman apa yang Kau berikan dengan tangan-Mu, kepada makhluk mulia dan pilihan-Mu diantara sekalian alam ini?
Tentang kedudukan Penghulu mulia ini, beliau bersabda, "Bagiku, waktu bersama Allah tidak diisi malaikat muqarrab dan nabi yang diutus." Apakah waktu itu termasuk waktu dialam dunia dan akhirat, atau waktu berkhalwat di Quba Qawsaini dan Tharh al-Kawnaini(tempat terakhir perjalanan mi`raj Rasulullah saw).
Sesungguhnya nabi Musa as, melakukan puasa musawiyah selama empat puluh hari, hingga sampai pada miqat al-Haqq. Allah Ta`ala berfirman, "Maka dia(Musa) melengkapi miqat Tuhannyaempat puluh malam." (QS. al-A`raf: 142). Meskipun demikian, miqat Musa tidaklah dapat dibandingkan dengan miqat Muhammad. Musa ditempat pertemuan (miqat), dipanggil dengan sebutan, "Lepaskan kedua sandalmu." Sandal dalam hal ini, ditafsirkan dengan cinta kepada keluarga. Sedangkan Rasulullah saw telah diperintahkan dimiqatnya, agar mencintai Ali. Dalam hati ini terdapat gejolak rahasia ini, yang sedikitpun tidaklah mungkin untuk dijelaskan.
Mi`raj Ruhani (II) karya al-Imam Ali Khomeini al-Musawi ra.

Tidak ada komentar: