Pemakaman Utsman sudah selesai dan segala sesuatu telah dibereskan seperti seharusnya. Kaum Muhajirin dan Anshar berkumpul bersama, juga umat islam lainnya, untuk membaiat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Orang pertama yang membaiat dan menjabat tangan Ali adalah Thalhah bin Ubaidillah dan kemudian Zubair bin Awwam.
Al-Balazduri meriwayatkan, "Tak seorangpun ahli Badar yang tidak berbaiat kepada Ali. Secara serentak, mereka berkata, 'Menurut kami, andalah yang paling berhak menjadi pemimpin.' Melihat itu, Ali segera menuju mmbar dan berpidato. Orang yang menghampiri Ali dimimbar dan membaiatnya adalah Thalhah, yang kemudian diikuti oleh beberapa orang lainnya. Ali merasa senang. 'Saya pikir, mereka takkan melanggar baiat.' gumam Ali."
Al-Thabari meriwayatkan, "Habib bin Dzuaib melihat Thalhah saat melakukan baiat. Habibi berujar, 'Tangan pertama yang terulur untuk berbaiat adalah tangan yang berdaging. Suksesi ini masih belum selesai.'" gumamnya.
Kaum muslimin sepakat mengangkat Ali sebagai khalifah, sementara Ali tidak mungkin menolak. Dalam salah satu khutbah yang berusaha menggambarkan situasi itu, Ali berkata, "Saya tidak mungkin berani maju memangku khalifah kalau tidak karena massa yang datang dari segala penjuru untuk mendukung saya. Hati sayapun luluh, mereka berkerumun didekat saya seperti kawanan kambing. Tetapi ketika saya menyatakan menerima khilafah, sebuah kelompok menarik baiatnya kembali, yang kemudian dikuti oleh kelompok lain, dan seterusnya."
Tangan yang berbaiat kepada Ali memutuskan untuk berkhianat karena pemiliknya(Zubair) mengira beroleh harta rampasan yang lebih banyak dengan dipegangnya kursi kekhalifahan oleh Ali. Namun setelah Ali mengeluarkan pernyataan bahwa dia bukanlah pemimpin yang lemah sehingga memerlukan bantuan mereka berdua(Zubair dan Thalhah) dengan menjadi tangan kanannya, mereka mulai merasa yakin bahwa kesempatan sudah sirna; Ali ingin memegang kekhalifahan itu sendiri dan tak membutuhkan mereka berdua. Timbullah pikiran untuk memberontak. Namun karena kota Madinah masih berada dalam kekuasaan Ali, tempat sekarang mereka berada, niat itupun urung dilakukan. Apalagi, pemerintahan Ali belum memiliki cacat yang bisa dikritisi, dan belum menjadi celah untuk mengggulingkannya. Lebih jauh, sejak awal mereka sudah terlibat dalam pembaiatan dan menyalami tangan Ali.
Jika demikian halnya, pemberontakan tak mungkin dilakukan dan dimulai dari kota Madinah. Akhirnya, kota Makkah diangggap sebagai kota yang paling aman untuk menjalankan aksi, niat pergi ke Makkah pun muncul. Bagi para pengacau bani Umayyah dan musuh Ali, Makkah memang merupakan tempat perlindungan yang nyaman. Apalagi, disana sudah ada Ummul Mukminin Aisyah ra, yang meninggalkan Madinah sebelum Utsman terbunuh. Aisyah sendiri berinisiatif menjadi penengah antara khalifah Utsman dan para pemberontak, kedatangannya di Makkah memang terhitung terlambat. Dengan berkeras meningggalkan Madinah dan mewajibkan diri untuk menuju Makkah, Aisyah berharap dapat terhindar dari dosa pembunuhan terhadap Utsman.
Sementara itu, Thalhah dan Zubair datang meminta izin kepada Ali untuk pergi berumrah. Hanya saja, permintaan itu ditampik oleh Ali, "Umrah bagaimana yang kalian mau? tidak... Kalian sebenarna tidak akan ber-umrah." Mereka langsung bersumpah bahwa mereka hanya ingin ber-umrah. Ali tetap pada sikapnya, "Sebenarnya, kalian tidak ingin ber-umrah, tetapi hendak berkhianat dan menarik kembali baiat kalian." Keduanya kembali menyatakan sumpah, "Tidak, wahai khalifah! Bukan itu yang kami mau. Kami sama sekali tidak mencabut baiat kami. Kami betul2 tulus hanya untuk ber-umrah." Ali mengalah, tetapi meminta, "Kalau begitu, tolong perbaharui lagi baiat kalian." Merekapun mengucapkan janji setia untuk tetap memegang teguh baiat yang telah mereka berikan. Setelah itu, mereka diizinkan pergi oleh Ali. Keduanya pun pergi meninggalkan Madinah menuju Makkah.
Dalam perjalanan, kepada setiap orang yang ditemui, mereka berujar, "Kami tidak berbaiat untuk Ali, baiat kami untuknya hanya karena kami terpaksa." Di Makkah, mereka kembali bergabung dan menyusun kekuatan dari semua orang tidak setuju dengan pemerintahan Ali.
Demikianlah, semua musuh Ali telah berkumpul dan menyusun kekuatan dinegeri yang baik ini(Makkah). Meski berada didekat rumah Allah, mereka mengobarkan semangat permusuhan terhadap wali Allah. Sungguh mengerikan takdir yang tersembunyi dibalik hari2. Mereka menyusun kekuatan ditanah suci Allah untuk mengadakan sebuah peperangan yang mengakibatkan terbunuhnya para sahabat, orang2 yang mengalami langsung dakwah kenabian dan terbitnya fajar Islam. Tetapi karena didorong hawa nafsu dan iri hati, keinginan untuk melawan kebenaran yang menyatu dalam diri ali dan para pengikutnya tetap mereka laksanakan.
Sebetulnya, terdapat 3 orang yang paling bertanggung jawab atas berkecamuknya perang Jamal. 2 diantara ke-3 orang itu adalah laki2(Thalhah dan Zubair), dan seorang lagi adalah Aisyah ra. Ke-3 orang inilah yang bertanggung jawab atas darah ribuan orang yang tumpah pada pertempuran itu. Merekalah ang mesti mempertanggung jawabkan; Ummul Mukminin sendiri sebetulna cukup berperan besar dibanding ke-2 rekannya yang lain, karena dialah yang membawa2 pakaian Utsman untuk dijadikan sebaai bukti kezaliman dan perlakuan tidak adil ang telah diterima Utsman. Sebetulnya, Aisah juga pernah melakukan hal yang sama terhadap Utsman sendiri.
Ibn al-Atsir menuturkan, "Saat pengepungan Utsman terjadi, Aisyah telah berada di Makkah. Ketika akan kembali ke Madinah, ditengah jalan, di Saraf, dia dicegat oleh pamannya yang berasal dari suku Laits, Ubaid bin Abi Salamah, yang merupakan putra Ummu Kilab. 'Ada apa?' tanya Aisyah kepada pamannya itu. Pertanyaan Aisyah dijawab oleh sang paman, 'Utsman telah dibunuh' Kini tinggal 8 orang saja yang mengurus Madinah.' 'Lantas apa yang dilakukan ke-8 orang itu?' desak Aisyah. 'Mereka sepakat untuk membaiat Ali,' ujar sang paman. Aisyah bergumam, 'Andai saja kekhalifahan itu diberikan setelah urusan Utsman selesai! Bawa aku kembali secepatnya!' kata Aisyah kepada orang2 yang bersamanya. Akan tetapi, sipaman bertanya heran, 'Mengapa? Mengapa harus kembali ke Madinah? Mengapa demikian? Engkaulah yang menjadi harapan kami. Engkau pernah berkata, 'Bunuhlah Na'tsal, karena dia sudah kafir.'"
Ummul Mukminin juga merupakan orang prtama yang memberontak terhadap Utsman, karena jatah yang pernah dia terima dari Umar telah dikurangi oleh Utsman. Aisyah dibri keistimewaan tersendiri oleh Umar, dibanding dengan istri2 lain Nabi saw dan mendapatkan jatah lebih banyak. Tradisi untuk menyusun peringkat pembagian harta rampasan, yang memang menyalahi aturan Nabi saw, pertama kali dicetuskan oleh Umar. Umar melakukan pembedaan2 antara Muajirin dan Anshar, antara orang Qurays dan suku lain. Tradisi ini merupakan sebentuk penyimpangan pertama dari risalah dan tuntunan yang dibawa Nabi saw."
Al-Ya`qubi dalam buku sejarahnya menyatakan, "Pemeringkatan jatah itu diawali Umar dengan Abbas bin Abdul Muththalib yang beroleh jatah 3000 dirham, semua kaum Qurays yang ikut perang Badar mendapatkan 3000 dirham, semua orang Anshar yang ikut perang Badar 4000 dirham, semua penduduk Makkah dan menjadi pembesar Qurays, seperti Abu Sufyan bin Harb dan Muawiyah bin Abi Sufyan mendapat 5000 dirham. Kemudian, kaum Qurays dengan tingkatan2nya kebawah(yang tidak berangkat ke Badar), untuk istri Nabi saw secara umum sebanyak 6000 dirham, untuk Aisyah, Ummu Habibah, dan Hafsah 12000 dirham, untuk Shafiyah dan Juwairiyyah 5000 dirham, untuk orang Makkah yang tidak ikut berhijrah 600 sampai 700 dirham, orang Yaman 400 dirham, orang Mudhar 300 dirham, dan untuk Rabi'ah 200 dirham."
Ummul mukminin Aisyah dan Hafsah lebih diutamakan oleh Umar. Namun ketika Utsman naik menjadi khalifah, ini tidak dibiarkan begitu saja tanpa perubahan, jatah Aisyah dikurangi. Itulah sebabnya Aisyah memilih menjadi oposan dan menyatakan pemberontakannya terhadap Utsman. Kini ia sedang bersiap2 pula untuk menghadapi Ali, meski dilihatnya Ali berada dipihak yang benar. Sebab, memang banyak orang yang takut terhadap keadilan, dan karena itu pulalah Aisyah, Thalhah, dan Zubair menyatakan pemberontakan mereka terhadap Ali, Imam al-Huda.
Bersama 2 sekongkolnya, Ummul Mukminin bergerak meninggalkan Makkah menuju Basrah. Kota Basrah hendak mereka jadikan sebagai basis pertahanan. Dari Basrah, mereka dapat menyerang Ali. Ditengah perjalanan, sebetulnya terdapat kejadian2 yang membuat Ummul Mukminin merasa mengetahui siapa sesungguhnya berada dipihak yang benar, Aisyah merasa bahwa kebenaran berada dipihak Ali dan para pengikutnya. Hal itu dia ketahui berdasarkan ucapan yang sangat gamblang dari Nabi saw.
Gonggongan2 anjing telah menghadangnya ditengah jalan, namun dia tetap enggan untuk kembali pulang. Ummu Salamah mengirimkan sepucuk surat kepada Aisyah, yang isinya antara lain: "Apakah yang akan engkau katakan dihadapan Rasulullah, sekiranya beliau menghalangimu dengan mata pedang karena engkau beralih dari satu penentangan ke penentangan yang lain? Tempat kembalimu sudah dijanjikan Allah, tetapi mengapa engkau masih menentang Rasulullah? Sekiranya aku yang diminta Allah untuk masuk kesurga Firdaus, aku pasti malu bertemu Rasulullah karena telah melanggar hijab yang dipakaikan Allah kepadaku."
Ummul Mukminin Aisyah sudah memilih untuk menjadi salah seorang kepala pemberontak melawan Ali, apapun yang terjadi, dia tidak akan mundur. Oleh karena itu, dia tetap berangkat bersama tentaranya hingga mencapai Basrah. Mereka memilih tempat yang disebut al-Rabad. Disana, Zubair, Thalhah, dan Ummul Mukminin masing2 berpidato.
Pemberontakan Aisyah ini menimbulkan kecemburuan ditengah sebagian umat Islam yang merasa tidak sampai hati melihatnya terjun langsung memimpin peperangan. Oleh karena itu, banyak orang yang bersimpati ikut membela beliau. Bukan karena percaya bahwa yang dibelanya adalah kebenaran, tetapi lebih karena Aisyah sebagai istri Nabi saw dan Ummul Mukminin sangat pantas untuk dibela. Banyak diantara pasukannya ikut berperang, agar keselamatan Aisyah tetap terjaga. Mereka semua merasa resah atas pemberontakan yang dipimpin langsung oleh Aisyah, padahal Allah telah memrintahkan kepada Aisyah untuk tetap tinggal dalam rumah. Jariyah bin Qudamah al-Sa`di berujar kepada Aisyah, "Wahai Ummul Mukminin, demi Allah, terbunhnya Utsman lebih ringan bagi kami dibandingkan keluarnya engkau saat ini, diatas unta yang terkutuk ini, hingga keselamatan dirimu sendiri menjadi terancam! Allah sudah memberikan hijab untukmu, tetapi engkau sendiri yang melanggarnya, Sungguh, kelompok yang berpendapat membolehkan berperang melawanmu berarti juga menghalalkan darahmu."
Disaat memasuki kota Basrah, Abu al-Aswad juga berkata kepada Aisyah, "Sesungguhnya anda ini tidak perlu kami jaga dengan tongkat, pedang, dan senjata kami. Anda sendiri merupakan orang yang tidak dibolehkan keluar oleh Rasulullah. Anda diperintahkan untuk tetap berada dirumah, tetapi sekarang anda membuat orang saling membunuh."
Mereka telah memasuki Basrah. Setelah berlangsung pembicaraan serius dan saling bertukar pendapat, Aisyah dan Utsman bin Hunaif yang menjadi utusan Ali kepada Aisyah mencapai kata sepakat bahwa Utsman boleh tinggal agar bisa menulis surat kepada Ali.
Tak sampai 2 hari setelah kesepakatan itu, Thalhah, Zubair, dan Marwan bin Hakam langsung menusuk Utsman. Dimalam yang gelap dan gerimis, Utsman yang waktu itu sedang tertidur pulas siap untuk mereka habisi. Agar mencapai kepada Utsman, mereka harus membunuh 40 orang penjaga. Hanya saja kemudian, Aisyah membebaskan Utsman dan cukup mencabuti jenggot, alis dan bulu matanya.
Ketika Ali telah mengetahui berita mengenai keberangkatan pasukan Aisyah ke Basrah, langsung bergerak meninggalkan Madinah. Maksud Ali adalah menghadang mereka ditengah jalan. Dalam pasukannya Ali ditemani oleh rombongan sahabat dari kaum Muajirin dan Anshar. Namun, pasukan Aisyah bergerak lebih cepat dan sampai lebih dulu di Basrah. Ali mengumpulkan informasi intelijen terdulu ketika berada antara Rabadzah, dekat Kuffah. Sebelum akhirnya memutuskan untuk terus ke Basrah.