Di Basrahlah pertempuran sengit Ix antara kaum muslimin pecah. Ia merupakan awal dari serentetan beacana yang menyusul dibelakangnya, setelah umat Islam dipersatukan oleh Nabi saw. 2 pasukan kini berhadap2an, menunggu saat mendebarkan ketika genderang perang ditabuh.
Ali maju dan berpidato, memberikan apresiasi dan menebar ancaman dihadapan pasukan itu seraya menyebut2 nama Allah. Namun, jiwa yang sudah kering tidak mau lagi tunduk kepada kebenaran. Kemudian, dengan menggunakan keledai Rasulullah saw, Ali menghampiri pasukan Aisyah. Ali berteriak lantang, "Dimana Zubair?" Lalu, Zubair pun muncul memanggul senjata. "Oh, betapa beraninya anak itu," komentar Aisyah terhadap Zubair. Ketika diberi tahu bahwa Ali tidak memanggul senjata, Aisyah merasa senang. Kedua laki2 itu saling mendekat dan ke-2 kuda mereka bertemu sembari menyenggol2kan leher.
Ali berkata kepada Zubair, "Ingatkah engkau ketika suatu hari aku bersama Rasulullah berpapasan dengan Bani Ghanam? Nabi memandangku dan beliau tertawa, aku pun ikut tertawa waktu itu. Engkau lalu berujar kepada Rasulullah, 'Ibn Abi Thalib masih saja menyimpan kesombongannya.' Tetapi Rasulullah menampik dan menjawab ucapanmu itu, 'Ali tidak demikian, suatu hari nanti, engkau pasti akan memeranginya, dan engkau berada dipihak yang zalim.'"
Zubair menjawab, "Ya, betul! Sekiranya aku mengingat peristiwa itu, tentu semua ini takkan kulakukan. Demi Allah, aku takkan memerangimu lagi." Ketika itulah Zubair langsung berbalik kepada Ummul Mukminin dengan wajah yang sama sekali berbeda. Katanya setelah sampai didekat Aisyah, "Tak 1pun situasi yang tidak kuketahui bagaimana seharusnya aku harus bersikap, sejak aku baligh, kecuali kali ini."
"Lalu, engkau hendak kemana? Apa yang akan kau lakukan?" tanya Aisyah kepada Zubair.
"Saya hanya ingin pergi dan meninggalkan mereka," jawab Zubair.
Zubair memang sudah menarik diri dari peperangan ini, namun pasukannya belum juga sadar. Mereka tetap melanjutkan niat, apapun yang terjadi dan bagaimanapun resikonya, bahkan sekalipun nanti berujung dineraka.
Ke-2 pasukan kini sedang berhadap2an. Perangpun lalu berkecamuk sudah. Namun, bagaimanakah peran Ali dalam peperangan ini? Ali bertindak sebagai pengatur strategi, sekaligus pejuang. Disini ketangkasan Ali di Badar, Uhud, dan Ahzab terlihat kembali, dan itulah yang akan kami ringkas. Seperampat abad lamanya pedang Ali(Zulfiqar) berhenti berkelebat, namun hal itu bukan karena sudah lelah, tetapi hanya karena situasi sulit yang sedang beliau hadapi.
Ibn Abi al-Hadid mengungkapkan, "Ali menyerahkan bendera perang kepada anaknya, 'Bawa bendera ini, Nak! Majulah sampai bendera ini terlihat oleh pasukan Jamal. Jangan biarkan ia terkulai jatuh.' Muhammad, sianak, pun maju. Beberapa anak panah datang menyergapnya. Ali berkata kepada anak buahnya, 'Tunggu sampai panah mereka habis! Hingga anak panah mereka tinggal 1 atau 2!' Ali kemudian memerintahkan anaknya untuk maju. Ketika dilihatnya sianak agak ragu2, Ali lalu menyorongnya dari belakang dan meletakkan tangan kirinya diatas bahu kanan anaknya. 'Ayo maju, Nak!' seru Ali, 'Ayah bersumpah!' Muhammad sang anak, selalu menangis bilaman mengingat peristiwa itu. Di melukiskan, 'Seolah2 saya merasakan nafas ayah yang hangat ditengkuk. Demi Allah, saya tidak pernah melupakan itu.'"
Namun kemudian Ali merasa iba kepada anaknya. Dia mengambil bendera itu dengan tangan kirinya, sementara pedang Zulfiqarberada digenggaman tangan kanannya. Bendera itu dibawanya menerobos pasukan Jamal, kemudian dia kembali dan pedang itupun telah bengkok.Pedang itu diluruskan dengan lututnya. Anak buahnya, anak2nya, Malik al-Asytar dan Amar bin Yasir berkata kepada Ali, "Cukuplah kami saja yang berperang, wahai Amirul Mukminin! Anda tidak usah terjun!"
Permintaan itu tidak dijawab dengan kata2, beliau hanya memandang mereka dengan ekor mata. Beliau justru mengaum seperti singa, menyerbu, dan meninggalkan orang2 disekitarnya jauh dibelakang. Ali betul2 ingin menghancurkan pasukan Basrah, tanpa melihat lagi siapa yang ada disekelilingnya, tanpa mau bercakap2 sedikitpun. Bendera yang tadi dibawanya, beliau serahkan kembali kepada anaknya, Muhammad. Setelah itu, diterobosnya kembali barisan pasukan musuh, menebas mereka 1/1, dan orang2 didekatnyapun berlarian karena takut. Beliau meliuk kekiri dan kekanan, sehingga tanah disekitarnyapun dibasahi darah para korban. Pedang beliau kembali bengkok, yang kemudian diluruskan dengan kakinya. Melihat itu, pasukannya merasa semakin kuat. Mereka menyemangatinya dengan menyebut nama Allah dan menyebut2 Islam sembari mengatakan, "Seandainya anda yang terluka, maka agama ini akan hilang(dengan kepergian anda). Berhentilah, cukuplah kami saja yang berperang." Tetapi beliau menjawab, "Demi Allah, semua ini tiada lain kecuali untuk Allah dan akhirat."
Kepada anaknya, Mahammad, beliau berpesan, "Seperti ini engkau nanti, wahai Ibn Hanafiyah."
"Siapa yang bisa menandingi anda, wahai Amir Mukminin?" komentar ana buahnya yang lain.
Ketangkasan Ali memang luar biasa, peristiwa ini hanyalah salah 1 saja. Dalam peperangan ini, dia bertarung melawan Abdullah bin Khalaf al-Khuza'i, seorang pemimpin Basrah, yang paling kaya dan paling banyak hartanya. Abdullah sesumbar meminta lawan duelnya, untuk itu dia tidak sudi kalau bukan Ali. Maka, Ali pun maju, dan tak lama kemudian abdullah tersungkur ketanah dengan kepala tertebas. Begitulah, 1 demi 1 lawan tarung Ali jatuh berguguran.
Perang semakin berkecamuk diantara 2 kubu itu. Namun, tak lama kemudian, tanda2 kekalahan mulai terlihat dipihak musuh. Thalhah dibunuh oleh Marwan bin Hakam.
Perang sudah menelan ribuan korban, karena yang mereka lawan adalah Ali. Pedang Ali memang sudah terkenal dimana2. Ali sendiri juga memiliki keberanian yang sudah dimaklumi ketangguhannnya dan tak akan dilupakan sepanjang masa. Dan unta terkutuk itupun tersungkur ketanah.
Ditengah keramaian itu, ali memerintahkan seseorang untuk berteriak lantang kepada pasukannya, "Dengarsemua! Jangan kejar orang yang lari! Jangan sentuh orang yang terluka! Jangan menyerbu sampai kedalam rumah."
"Coba lihat, apakah Aisyah terluka?" perintah Ali kepada Muhammad bin Abu Bakar.
Muhammad lalu melongok kedalam tandu Aisyah.
"Siapa engkau?" tanya Aisyah.
"Keluargamu yang paling kau benci," jawab Muhammad.
"Ibn Khats'amiyah?" tanya Aisyah.
Dia menjawab, "Ya."
Perang Jamal ini meninggalkan kesan yang mendalam bagi Aisyah. Bagaimana mungkin dia dapat melakukan semua pembantaian ini? Bagaimana mungkin semua nyawa yang tidak berdosa ini harus tertebas demi keinginan dan kepentingan2nya yang fanatis? Bagaimana jka seandainya dia tetap memelihara hijabnya dan tidak berperang melawan Imam kebenaran dan petunjuk(Ali)? Bagaimana berbedanya posisi yang dulu ditempatina dengan sekarang? Kepada orang yang mengingatkannya akan peperangan ini, Aisyah bercerita bahwa dia berandai bisa meninggal 20 tahun lebh awal.
Dimanapun Ali bertempur, kebenaran selalu berada dipihaknya. Perang Jamal hanya 1 dari sekian banyak peperangan yang diikuti Ali, demi membela kebenaran dengan maknanya yang paling jelas. Baiat dilakukan atas kesepakatan bersama antara Muhajirin dan Anshar, dan semua kaum muslimin yang termasuk ahl al-hall wa al-'Aqd. Kemudian, sebagian kelompok mencagut baiat yang telah diberikannya kepada Ali. Maka, Ali berhak menuntaskan persoalan ini, semua sikap yang diambil Ali memiliki alasan yang betul2 jelas. Terang malamnya sama seperti siang. Ali berperang dan tahu kemana harus menebaskan pedangnya, karena pedang Ali hanya menebas orang yang berhak pergi keneraka. Pedang itu tidak akan pernah salah tebas. Ali sendiri melukiskan, "Semenjak Ix melihat kebenaran, tak pernah terpikirkan olehku untuk ragu2 berjuang demi membelanya." Beliau juga berkata, "Saya punya bukti dihadapan Tuhan dan punya manhaj dari Nabi. Saya berada dijalan yang benar dan saya akan mengikutinya, langkah demi langkah."
"Wahai Amir Mukminin, fitnah terbesar apalagi setelah ini? Sesungguhnya ahli Badar sudah saling bunuh," tana seseorang usai perang Jamal kepada beliau.
Ali berkata kepadanya, "Celakalah engkau! Apakah fitnah akan terjadi, sedangkan aku masih menjadi pemimpin dan komandan umat? Demi zat Yang mengutus Muhammad dengan kebenaran dan memuliakan wajahnya, aku tidak pernah berbohong! Aku juga tidak pernah mendustakan beliau. Aku bukan orang sesat dan tidak pula menyesatkan orang lain. Aku tidak tergelincir dan juga tidak menggelincirkan orang lain. Aku berada dijalan kebenaran Tuhan yang begitu nyata, yang telah dijelaskan Allah kepada Rasul, dan dijelaskan Rasul kepadaku. Dihari kiamat, aku akan mengaku bahwa aku tidak punya dosa, dan sekiranya aku punya dosa, maka dosaku pasti akan diampuni karena memerangi mereka."
Ali, engkau hanya berjalan direl kebenaran. Telah tercantum dalam dunia ghaib bahwa Rasulullah berbicara tentangmu dan melukiskan bagaimana engkau berjalan dijalur yang benar. Beliau berkata, "Ali berada dipihak yang benar dan kebenaran pasti berada dipihak Ali."
Ali bin Abi Thalib, hal 90 - 106 (337 halaman),harga toko: 30.000,-, karya: Abbas Ali al-Musawi
Penerbit; Penerbit Cahaya
Jl. Siaga Dharma VIII, no; 32 E
Pasar Minggu-Jakarta Selatan
Telp: 021-7987771 (08121068423) Bagian pemasaran; Bpk Iip
Fax: 021-7987633
Email; pentcahaya@centrin.net.id
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar