Jumat, 30 November 2007

Satu Pria Dua Wanita (6)

Musthafa telah menerima surat Rihab. Ia lalu membacanya dengan teliti. Kemudian, ia lalu membalas surat itu. Sebab, saat itu ia akan menghadapi ujian. Karena itu, ditulislah:
Dengan nama Allah yang Mahakasih dan Mahasayang
Hasanah yang terhormat
Assalamu`alaikum wr.wb
Surat ini kutulis sambil berharap engkau berada kebahagiaan yang purna dunia dan akhirat. Aku senang membaca suratmu yang terakhir, ketika engkau menggambarkan keadaanmu yang dengan sukses telah melalui perjalanan dari keraguan menuju keyakinan. Aku ucapkan selamat atas kelahiranmu kembali, dan aku berharap ini menjadi kelahiran yang membahagiakan. Semoga tahun demi tahun dapat engkau lalui dengan baik.
Dan janganlah engkau beranggapan bahwa aku merasa bosan memenuhi keinginanmu, malah sebaliknya. Sebab, yang membuatku bahagia adalah bahwa Allah SWT telah memilihku untuk berada disampingmu, menyertai keinginanmu akan agama dan iman, sehingga aku menjadi penyebab terbukanya kenyataan-kenyataan yang terhampar dihadapanmu.
hakikat-hakikat inilah yang sebelumnya telah dikalahkan oleh pikiran-pikiran yang menghancurkan. Sebelumnya, engkau laksana hewan kurban dari sekian banyak hewan kurban pemikiran itu. Namun, sekarang engkau telah menyambut seruan kebenaran , yang menarik tanganmu dan memindahkamu dari kegelapan menuju cahaya yang terang-benderang. Oleh karena itu, aku rela dan benar-benar senang menerima tulisanmu, walaupun aku melihat bahwa buku-buku yang kuberitahukan padamu itu telah dapat menjawab setiap pertanyaan. Namun, jika engkau tetap ingin mendapat tambahan, maka inilah sebagian bukti tambahan yang berhubungan dengan tubuh kita.
Pernahkah engkau merasa heran saat engkau mempeerhatikan sistem yang rumit pada kawat telpon? Bagaimana mungkin sebuah pembicaaaan dapat berpindah melewati kabel dari Mesir ke London dan dari Baghdad ke Washington ? Tak diragukan lagi, itu memang sesuatu yang sangat rumit. Bila direnungkan, itu akan membuat kita takjub dan menjadikan para perancangnya kagum dan bangga terhadapnya.
Akan tetapi, kenapa manusia tak mencoba untuk memperhatikan sejenak sistem yang jauh lebih luas dan rumit ketimbang sistem tadi? Yaitu, sistem syaraf yang ada pada tubuh kita. Terdapat jutaan berita yang bergerak melewati sistem syaraf kita, dari satu sisi ke sisi lain, tanpa henti, siang dan malam. Masing-masing menjalankan tugasnya sendiri dalam mengarahkan otak dan mengontrol gerak anggota badan. Dan tatkala setiap sistem harus ada sentralnya, maka sentral dari sistem untu menjalin hubungan-hubungan tersebut adalah akal manusia.
Didalam otak manusia itu terdapat milayaran sel syaraf, yang sel-sel tersebut memiliki semacam kabel-kabel yang menyebar keseluruh tubuh manusia. Inilah yang dinamakan dengan pembuluh-pembuluh syaraf... Pada pembuluh syaaf tersebutterdapat sistem penerima(sensorik) dan sistem pengirim(motorik), yang dengan perantaraan sistem-sistem tersebut kita dapat mendengar, measakan, melihat, serta melaksanakan seluruh aktivitas kita.
Apakah engkau pernah memikirkan tentang otak manusia itu? Betapa banyak iamenyimpan nama-nama, berbagai angka, dan gambaran tentang kisah-kisah yang panjang maupun yang pendek. Disitu juga tersimpan gambar wajah orang-orang yang tak terhitung jumlahnya dan tak ada batasnya, yang sebagian dikenal dan sebagian lain tak dikenal. Lalu, bagaimana dan dimanakah semua nama, nomor, peristiwa, dan gambar-gambar itu tersimpan? Sementara, engkau tahu bahwa ukuran otak itu kecil? Apakah alam yang tidak memiliki perasaan ini dapat mencipta dan mengatur sistem pada otak manusia serta menjadikannya sebagai pusat untuk berpikir dan bekerja dalam tubuh manusia?
Tidakkah engkau memikirkan itu, wahai Hasanah? Atau, adakah seorang yang berakal yang meyakini hal tersebut sebenar-benarnya tanpa ragu sedikitpun? Tahukah engkau bahwasanya ada begitu banyak alat-alat yang sebenarnya dalam pengaturannya mengikuti apa yang elah Allah ciptakan. Contohnya saja lensa kamera, yang menyerupai jaringan luar mata manusia dan penutup lensa tersebut berfungsi seperti selaput pelangi pada mata.
Begitu juga halnya dengan negatif film yang sangat sensitif terhadap cahaya dalam sebuah kamera. Ia mengikuti bentuk layar yang ada pada mata dengan garis-garis dan bentuk-bentuk seperti kerucut yang berguna untuk melihat bentuk-bentuk luar dan menangkapnya dalam posisi terbalik. Adakah seseorang yang berani mengatakan bahwa sebuah kamera telah tercipta dengan sendirinya. Namun, dapat kita temukan orang yang berani dan sengaja mengatakan bahwasanya mata manusia tercipta dengan sendirinya dan hanya kebetulanlahyang mengaturnya menjadi bentuk seperti itu.
Kemudian, tahukah engkau bahwa salah satu universitas musik telah menemukan sebuah alat yang dapat digunakan untuk menangkap frekuensi-frekuensi yang tidak dapat ditangkap oleh indera pendengar manusia. Alat tersebut berfungsi untuk mengetahui sinyal-sinyal akan datangnya banjir ataupun gempa bumi, bahkan beberapa jam sebelum itu terjadi.
Para pakar tersebut memperoleh ide untuk membuat alat itu dari jaring-jaring yang terdapat pada ubur-ubur yang hidup dilaut. Karena ubur-ubur tersebut dapat mengetahui datangnya banjir atau gempa bumi beberapa jam sebelum itu terjadi, maka para insinyur dan pakar meniru anggota badan ubur-ubur tersebut, yang memiliki sensitivitas tinggi hingga dapat menangkap suara bahakan frekuensi-frekuensi yang tak dapat didengar oleh telinga.
Inilah sebagian contoh kecil. Aku anjurkan agar engkau membaca buku Ma`a Allah fi al-Sama(Bersama Allah dilangit) dan buku al-Thibb Mihrab al-Iman(Kedoteran adalah sesuatu yang berharga dalam iman) serta buku Thaba`i al-Ahya(Tabiat-tabiat kehidupan), agar engkau dapat mengetahui apa yang telah Allah SWT ciptakan. Semoga engkau senantiasa dalam kebaikan.
Musthafa
Rihab menerima surat Musthafa lebih cepat dari dugaannya. Sebab, Musthafa sengaja membalas suratnya dengan cepat sebelum ujian akhir dimulai. Rihab pun kembali meminjam buku-buku yang disebutkan itu kepada Hasanah. Bertambahlah iman dan ketenangan jiwa Rihab, setelah membaca buku-buku itu. Namun, ia masih terus merasa bahwa ada sebuah pertanyaan lagi yang mengganjal dibenaknya. Ia bertekad mengajukan pertanyaantersebut sebagai pertanyaan terakhir. Sebab, ia telah bertekad untuk menceritakan keadaan yang sebenarnya. Ia juga ingin mengakui semua kesalahan yang telah dilakukannya, sebelum selesai masa pendidikan Musthafa dan sebelum ia kembali kedaerahnya. Oleh karena itu, ia segera menulis kembali:
Dengan nama Allah yang Mahakasih dan Mahasayang
Musthafa yang terhormat
Seribu salam dan rasa hormatku padamu, sambil mengharap dari Allah SWT agar menjagamu dengan pandangan-Nya yang tidak pernah berhenti dan semoga engkau dijadikan-Nya sebagai mercusuar petunjuk dan hidayah.
Aku yakin, engkau sekarang ini sedang sibuk menghadapi ujian. Oleh karena itu, aku mohon maaf bila pertanyaan-pertanyaanku mengganggumu. Namun, pertanyaan-pertanyaan itu berhubungan dengan masaah kehidupan yang kualami . Karena itu, aku merasa berhak untuk meminta padamu sesuatu yang menjadikan aku lebih kuat.
Pertanyaanku kali ini: Tatkala kita menerima dan meyakini bahwa Allah SWT adalah pencipta alam ini, maka siapakah yang menciptakan Allah SWT itu?
Hasanah
Rihab mengeposkan suratnya itu. Setelah kembali, ia tidak melihat Hasanah dirumah. Ia kemudian bertanya pada ibunya. Ibunya mengatakan bahwa Hasanah ada dikamarnya, dan ia sendiri belum bertemu dengannya sejak tadi.
Rihab pun menduga bahwa Hasanah seang mengalami tekanan jiwa. Rihabpun ikut merasakan itu dan bergegas hendak menemuinya. Namun, didepan kamarnya, Rihab tidak langsung masuk. Ia malah mondar-mandir didepan kamar itu lantaran ragu-ragu. Hingga tekadnya sudah bulat, ia mengetuk pintu dengan perlahan. Karena yakin bahwa pintu itu terkunci dari dalam, iapun memanggil kakaknya dengan lemah lembut, "Hasanah...Hasanah...!"
Hasanah membuka pintu dan memaksakan diri untuk tersenyum pada adiknya itu. Namun, Rihab melihat sisa-sisa air mata dikedua pelupuk mata Hasanah. Hatinya sangat tertusuk melihat kenyataan itu, karena ia tahu ialah penyebabnya. Hampir saja Rihab menjelaskan keadaan sebenarnya dan mengakui kesalahan-kesalahannya. Namun, ia tak berani melakukannya. Iapun berbicara pada diri sendiri bahwa keperluannya pada Musthafa belumlah selesai dan ia meyakinkan diri bahwa nanti pun, setelah dirasa cukup, ia akan menjelaskan itu. Karenanya, ia memegang tangan Hasanah dengan lemah lembut serta memandanginya dengan penuh kasih, seraya berkata, "Mengapa engkau nampak sedih, wahai Hasanah? Tidakkah seharusnya engkau adalah orang yang paling bahagia...?"
Hasanah terdiam, tak menjawab sepatah katapun. Tetapi, ia terhibur dengan sikap lemah lembut adiknya. Itu nampak, tatkala ia meletakkan kepalanya dipundak Rihab, seolah-olah ia ingin bersandar padanya untuk mengurangi beban derita yang ditangungnya.
Rihab kembali berkata, sembari berusaha keras menahan gejolak hatinya, "Jangan kau hiraukan hal-hal yang membuatmu sdih, wahai Hasanah. Sebab, sejuta kebahagiaan menanti dihadapanmu."
Hasanah bangkit dan menolehkan wajahnya kearah sang adik, seraya berkata, "Bagaimana engkau dapat berkata demikian, wahai Rihab? Tidakkah engkau tahu baha aku sudah tujuh bulan lamanya menjadi istri yang sah, menurut syariat dan masyarakat, dengan seorang laki-laki yang belum pernah kudengar ucapannya sama sekali dan belum kudengar berita tentangnya sedikitpun? Itu membuatku yakin, ia tidak suka padaku dan ia telah berpura-pura. Padahal, kedatangannya tinggal beberapa minggu lagi. Apa yang kan terjadi bila ia kembali nanti? Aku tak ingin mengadukan hal ini, tetapi aku sangat menderita memikirkan kehidupan mendatang bersama suami yang berat menerimaku."
Hasanah terus bicara, dan setiap kata yang terlontar bak sembilu yang mengiris-iris jantung Rihab. Namun, Rihab bertahan. Ia melihat bahwa ia harus melakukan sesuatu demi kakaknya yang menderita itu. Karenanya, ia pun berkata dengan lemah lembut, berusaha menghibur, "Tidak! Tidak demikian, Hasanah. Engkau salah sangka. Ia seorang laki-laki yang sah untukmu menurut syariat dan masyarakat, dan ia adalah orang yang paling baik, paling sempurna, dan paling layak untukmu."
Hasanah berkata, "Aku tidak mengingkari itu, tetapi nampaknya ia tak puas memilihku."
Rihab kembali bekata, "Tidak, ia benar-benar menyukaimu dan tidak ada yang dapat mempengaruhinya. Percayalah akan hal ini, kakakku!"
Hasanah memandangi adiknya. Dengan rasa heran, ia bertanya, "Bagaimana bisa engkau meyakini hal itu, wahai Rihab?"
Rihab bingung menjawab pertanyaan itu. Dengan terpaksa, ia berkata, "Aku tahu... Yakinlah atas ucapanku ini!"
Hasanah kembali bertanya, "Ya, tapi dari mana engkau ahu?"
Hampir saja Rihab menceritakan keadaan yang sebenarnya. Betapa buruk pandangan Hasanah terhadapanya nanti? Lalu, apa yang kan dikatakan Hasanah nanti? Ia pasti akan menanyakan banyak hal lagi.
Karena itu, Rihab mengurungkan niatnya, seraya berkata, "Cukup bagimu tahu bahwa aku benar-benar yakin akan ucapanku ini. Tak lama lagi aku pasti akan menjelaskan kepadamu sesuatu yang kuketahui. Yang penting, engkau harus mengembalikan keyakinanmu semula terhadap suamimu, yang sedang kau nantikan. Hendaknya, engkau tersenyum kembali pada kehidupan ini. Aku mohon padamu, wahai Hasanah..."
Hasanah tersenyum dan dengan tenang berkata, "Aku percaya ucapanmu, wahai adikku. Meski aku tak tahu bagaimana itu terjadi, tapi yang jelas, sekarang aku mulai tenang kembali."
Rihab merengkuh tangan kakaknya dan berdiri, seraya berkata, "Kalau begitu, mari kita temui ibu. Ia menunggu."
Beberapa hari setelah itu, Rihab hampir tak pernah berpisah dengan Hasanah. Ia selalu bersama Hasanah, meruahkan kasih dan sayangnya, dan bebrapa kali membicarakan masa depannya. Ia juga berusaha membantu kakaknya, seperti menjahit, membordir, dan lain-lain. Waktu lain diisinya membaca buku. Karenanya, iman dan ketenangannya bertambah. Teapi, ia masih menunggu jawaban Musthafa. Hingga suatu hari, ia menerimanya:
Dengan nama Allah yang Mahakasih dan Mahasayang
Yang terhormat Hasanah
Semoga Allah melindungi dan menjagamu, serta mengokohkan langkahmu dalam kebenaran...
Aku menyesal atas keterlambatan surat ini. Itu dikarenakan kesibukan dan persiapanku dalam menghadapi ujian akhir. Inilah jawaban atas pertanyaan yang kau ajukan, wahai Hasanah. Aku menulisnya dengan singkat; kumohon agar engkau mempelajari buku yang berkenaan dengan pokok-pokok akidah, agar engkau dapat memahami secara lebih rinci lagi.
Ketika kita melihat air yang sedang mendidih, mungkin kita bertanya, kenapa ia mendidih? Jelas, jawabnya adalah lantaran api. Kemudian, bila kita melanjutkan dengan pertanyaan lain, "Kenapa api dapat menyebabkan air mendidih?" Jawabnya adalah karena api itu panas. Setelah itu, dapat dibenarkan bila kita bertanya, "Mengapa api itu panas?" Jelas, pertanyaan ini tak masuk akal,karena bila kia melihat api yang tidak panas pun, kita akan menanyakan mengapa demikian.
Kemudian, tidakkah kita semua sepakat bahwa alam ini terjadi lantaran adanya sebab, atau karena adanya pencipta, yang semua penjelasan dan sebab akan berakhir padanya. Yang berbeda adalah pada bentuk "sebab pertama" itu. Kalangan materialisme beranggapan bahwa sebab pertama itu adalah alam, materi, dan masa, sebagaimana dinukil dalam al-Qur`an. Sedangkan orang-orang yang beriman yakin bahwa yang dimaksud itu adalah Allah yang Mahatahu dan Mahamampu.
Sekarang, mau tidak mau, kita berada pada salah satu dari dua kemungkinan diatas, yang kedua-keduanya sam-sama mengakui tentang keberadaan "sebab pertama penciptaan" yang tidak ada sebab lain setelahnya. Dengan demikian, masalahnya adalah bahwa kita harus menentukan mana diantara keduanya yang benar.
Mungkinkah "sebab pertama" bagi alam,yang didalamnya terdapat hikmah, keindahan, pengaturan serius, dan kreasi penciptaan yang luar biasa, yang seluruhnya berjalan sesuai dengan kemaslahatan manusia dan kebutuhan hidupnya, adalah kekuatan yang buta, yang tak memiliki perasaan, tidak tahu, dan tidak memahami makna kehidupan serta tidak tahu apa-apa bahkan entang pengaturan alam yang sederhana sekalipun. Orang-orang materialis menamakannya dengan al-thabi`ah(alam), terkadang dengan al-madah(materi), dan al-dahru(zaman). Sungguh, jawaban yang benar tidaklah demikian. Sebab, sistem yang ada dialam ini memerlukan pengatur dan hikmah tertentu dan itu membutuhkan kebesaran, keindahan, dan kedalaman ilmu, yang semua itu tak mungkin bersumber, kecuali dari Yang Mahatahu dan Mahaindah.
Musthafa
Selesai membaca surat Musthafa, Rihab pergi menemui Hasanahuntuk meminjam sebuah buku. Ia beniat untuk tidak menulis surat lagi untuk Musthafa. Ia mulai membaca buku tersebut; kembali iman dan ketenangannya bertambah. Ketika itu, ia bertekad menulis surat untuk Musthafa yang menjelaskan kenyataan sebenarnya, karena ia tidak memerlukan tanya jawablagi. Namun, karena kembali terlintas rasa bingung. Yaitu ketika seseorang telah beriman kepada Allah, maka ia juga meyakini al-Qur`an. Lantas, bagaimana cara mengetahui dan meyakini bahwa al-Qur`an itu berasal dari Allah SWT, sebagai pencipta alam semesta dan kehidupan ini?
Dengan begitu, ia masih memerlukan Musthafa. Ia berniat menulis surat kepadanya, terlebih lagi ketika ia melihat bahwa keadaan Hasanah sudah membaik, setelah kejadian beberapa hari lalu, ketika Hasanah menjadi yakin dan tenang atas ucapan Rihab. Karenanya, Rihab menulis surat lagi untuk Musthafa:
Dengan nama Allah yang Mahakasih dan Mahasayang
Yang terhormat Musthafa
Wahai orang yang telah menerangi hatiku dengan cahaya iman dan telah menarik tanganku pada jalan kebenaran dan petunjuk. Aku sekarang merasa seperti kanak-kanak dihadpanmu. Mungkin engkau tak tahu kenapa. Tetapi, sebentar lagi engkau pasti akan mengetahuinya.
Inilah aku yang hingga kini masih memerlukanmu. Tolonglah aku dengan menjawab pertanyaanku. Pertanyaanku saat ini adalah bagaimana mungkin aku meyakini bahwa al-Qur`an ini diturunkan oleh Allh SWT?
Aku mohon, engkau tak marah padaku. Dan inilah pertanyaan terakhir yang kuajukan padamu. Semoga setelah ini engkau memaafkanku, karena aku telah banyak mengganggumu. Aku berharap kepada Allah SWT agar tetap menjadikanmu sebagai orang yang kuat, yang berbakti kepada agamanya dan kepada yang engkau cintai dan Dia juga mencintaimu serta memberimu petunjuk.
Hasanah

Tidak ada komentar: