Senin, 26 November 2007

Satu Pria Dua Wanita (2)

Musthafa menerima surat itu. Ia menerimanya dengan senang dan penasaran. Dengan cepat ia buka surat itu dan mulai membacanya. Rasa senang dan bahagia masih mengiringinya.
Namun, segera saja wajahnya berubah. Ia merasa terpukul dan kecewa. Ia tercengang heran membaca isi surat itu dan berusaha menganggap keliru apa yang telah dibacanya. Ia membacanya kembali, tapi ia malah menjadi yakin, itulah kenyataannya.
Ya, itulah Hasanah, perempuan yang beriman, baik dan suci. Seorang perempuan pilihan Zainab, kakanya, untuk dirinya. Perempuan yang telah dipuji setinggi langit oleh Zainab; sampai-sampai ia langsung melamar walau belum pernah bertemu. Benar, ialah Hasanah, seseorang yang telah dijadikannya sebagai pendamping hidup untuk bersama-sama merengkuh cita-cita nan tinggi serta harapan-harapan indah. Tetapi, tiba-tiba saja ia menulis dan mengatakn dengan terus-terang bahwa ia tidak beriman akan keberadaan Allah SWT.
Betapa parahnya? Bagaimana mungkin itu terjadi? Bagaimana mungkin Zainab tertipu begitu, padahal Hasanah adalah teman karibnya? Lantas, bagaimana caranya menghadapi kenyataan yang pahit ini?
Ia pun berpikir keras untuk menentukan sikap, setelah keguncangan batinnya sedikit mereda. Yang terlintsas dibenaknya pertama kali adalah ia ingin mengirimkan surat itu pada Zainab, sekaligus memintanya menjadi wakil untuk menceraikan Hasanah. Namun, ia mengurungkan niatnya itu lantaran dibenaknya terlintas, seandainya ia langsung menceraikannya, itu berarti ia telah lari dari tanggung jawabnya sebagai suami, yaitu tanggung jawab dalam melakukan amar makruf nahi mungkar. Mudah-mudahan, ia mampu memberikan petunjuk kepadanya. Setelah itu, baik Hasanah mau menerima ataupun tidak, ia dapat menentukan sikap selanjutnya dengan sesuka hatinya.
Ia terus berpikir dan setiapkali ia berusaha menemukan jalan keluar, lagi-lagi cara itulah yang dianggapnya paling tepat. Karena itu, Musthafa mulai menulis surat. Ia ingin sekali, suratnya itu tidak lebih dan tidak kurang, hanyalah merupakan jawaban atas keraguan Hasanah:
Dengan nama Allah yang Mahakasih dan Mahasayang
Aku sangat menyesal lantaran terlambat menulis surat balasan untukmu. Namun perlu engkau ketahui bahwa disaat-saat itu, aku sedang berusaha menghilangkan perasaan terpukul dalam hatiku, lantaran beban yang kaukirimkan melalui suratmu yang terus-terang.
Kemudian, tatkala aku tak kuasa menanggung beban rasa tersebut, tak ada yang dapat kulakukan selain menjalankan kewajiban agamaku dalam mengjadapimu. Sikap tak butuh terhadap agama yang nampak dalam tulisan disuratmu itu adalah sikap yang sungguh menyedihkan. Apakah engkau sedang terpedaya oleh sebuah jalan keluar yang kau sebutkan dalam suratmu itu? Aku tak tahu, keadaan yang patut disesalkan yang bagaimanakah yang menyebabkan engkau berpikir seperti itu.
Seperti yang tersirat dalam suratmu, engkau sebenarnya adalah salah seorang yang menjadi korban penipuan dan kesesatan. Karena itu, surat ini kutulis sebagaimana seorang kakak yang menulis surat kepada adiknya; dengan dasar rasa tanggung jawab sosial dan agama terhadapmu.
Adapun yang engkau tuliskan tentang tidak butuhnya kita, khususnya akan keimanan kepada Allah SWT dan selanjutnya kepada agama, maka ketahuilah bahwa iman kepada Allah SWT tidaklah seperti yang engkau bayangkan bahwa buah dari masa lalu kesesatan manusia. Sebab, keberadaan iman kepada-Nya itu jauh lebih awal daripada kesesatan dan telah ada jauh sebelum adanya perbedaan dan konflik antar kelas sosial. Ia bukan merupakan hasil dari perselisihan kelas sosial seperti yang engkau bayangkan. Sebab, kalau tidak demikian, konflik kelas seperti apakah yang dapat digambarkan seseorang yang terjadi diawal penciptaan?
Sebab, saat itu, yang ada adalah makanan yang sama, pakaian yang sama, dan batas pengetahuan yang sama pula. Iman kepada Allah SWT sudah ada sejak awal penciptaan dan sejak manusia mengenal arti keberadaan(wujud).
Mungkin, disini engkau akan bertanya-tanya, bagaimana mungkin aku dapat mengatakan hal seperti itu dan sekaligus meyakininya? Namun, tidaklah engkau lihat bahwa segala sesuatu pasti memiliki tanda-tanda dan keberadaan tanda-tanda sesuatu itu terlukiskan pada lembaran-lembaran sejarah, dan sejarah tersebut telah mengajak kita kearah itu dengan sangat jelas?
Aku berikan, sebagai contoh, Mesir, yang pendudukannya termasuk diantara bangsa-bangsa yang paling berakar kepercayaannya kepada ruh, hari kebangkitan, serta adanya pahala dan siksaan. Tentu saja, sesuai dengan tingkat pemahaman mereka yang masih dasar ketika itu. Mereka memberi tanda pada ruh dengan berbagai macam simbol; kadangkala dengan tanda tertentu, dan adakalanya dengan simbol seekor burung berkepala manusia. Simbol dan tanda-tanda tersebut hingga kini masih nampak jelas pada peninggalan-peninggalan sejarah Mesir Kuno dan lembaran-lembaran sejarahnya.
Peribadahan mereka yang pertama ditunjukkan kepada Fattah(penguasa negeri) dan, dimasa itu, mereka tidak berusaha untuk mendekatkan diri pada makna-makna ruhani, sebagaimana yang terdapat pada salah satu bentuk shalawat Fattah yang berkaitan dengan dirinya, "Hati dan lisan untuk sesembahana dan dari keduanyalah muncul pemahaman dan pembicaraan apapun, sekalipun itu dari akal dan lisan para dewa, manusia, makhluk hidup dan semua yang memiliki wujud, kecuali keduanya merupakan wahyu dari Fattah".
Setelah itu, tatkala Ikhnatun menguasai negeri, ketika itu, ia mulai meluruskan ibadah yang biasa dilakuakn. Itu seperti yang tertulis pada bentuk shalawatnya, yang terpelihara oleh sejarah, "Betapa banyak ciptaan-Mu yang tidak kami ketahui. Engkau adalah Tuhan yang Mahaesa, yang tiada tuhan selain Engkau. Engkau telah terbebas dari selain-Mu, karena itu Engkau ciptakan alam inidengan manusia, hewan dan segala sesuatu yang besar dan yang kecil didalamnya."Ini di Mesir.
Adapun di India, para sejarawan berselisih pendapat tentang urutan sejarah negeri tersebut. Mereka berbeda pendapat dalam hal membatasi masa telah sempurnanya suatu agama bagi mereka serta telah sempurnanya keyakinan terhadap pemikiran tentang keberadaan Tuhan yang disembah. Sebagian sejarawan berpendapat bahwa itu terjadi pada 1.500tahun sebelum masehi. Sebagian lain mengatakan itu terjadi 6.000 tahun sebelum masehi, sebagaimana dikatakan Marx Moeller yang dijadikan sebagai sandaran oleh bangsa-bangsaEropa. Ia berkata, "Kapanpun waktu pengumpulan nyanyian-nyanyian ritual mereka, maka sebelum itu ada suatu masa dimana ada diantara orang-orang India yang beriman kepada Tuhan yang Mahaesa, yang tidak laki-laki dan tidak pula perempuan, serta tidak dibatasi oleh sifat-sifat dan batasan-batasan tertentu yang ada pada manusia."
Moeller juga menjelaskan, "Nyanyian keagamaan India yang dinyanyikan oleh orang-orang India pada lima abad sebelum masehi, telah diinterprestasikan menjadi sebuah ungkapan sebagai berikut, "Disana tidak ada siang dan malam, serta tidak ada sesuatu apapun, kecuali itu merupakan nafas dari Dia Yang Mahaesa, yang tidak ada nafas-nafas yang keluar ataupun sesuatu apapun selain-Nya."
Begitu juga halnya di Cina, penduduknya pernah menyembah matahari, bulan, bintang, juga angin. Dan Tuhan terbesar yang mereka sembah adalah Tuhan Langit. Bagi mereka, Tuhan Langit adalah Tuhan yang menjalankan seluruh alam dan mengatur segala sesuatu. Dia jugalah yang telah menuliskan garis kehidupan pada setiap insan.
Di Persia, ini tergambar pada ucapan Zerodist tatkala ia memohon kepada Hermaz yang disembahnya, "Wahai Hermaz yang Mahakasih, pencipta alam yang nampak ini. Wahai yang Suci dan paling suci, adakah yang lebih kuat dari seluruh kerajaan dan kekaisaran?" Maka Hermaz menjawab, "Nama-Ku-lah yang terpancar pada ruh-ruh. Dialah yang terkuat diantara yang kuat diseluruh kerajaan."
Sebagaimana, mereka juga meyakini adanya sebuah jembatan yang dinamakan dengan jembatan Syinfada. Pada jembatan tersebut ruh orang-orang yang baik dan jahat memperoleh perlakuan tertentu yang sama, setelah mereka terlepas dari jasad-jasadnya. Disitu, mereka bertemu dengan Rasynuh(malaikat keadilan) dan Mitra(dewa cahaya). Keduanya meletakkan neraca dan bertanya kepada mereka tentang kesalahan-kesalahan dan syafaat-syafaat. Setelah itu, keduanya membukakan untuk mereka pintu surga atau pintu neraka.
Di Babylonia(Irak) terdapat kebudayaan yang merupakan kebudayaan tertua sepanjang sejarah. Bekas-bekas peninggalan kepercayaan mereka terhadp sang Pencipta masih terkam kuat pada peninggalan sejarah diwilayah tersebut. Diantaranya adalah adanya Aya(Tuhan air tawar), Ann(Tuhan langit) dan Mardukh(Tuhan para tentara dan pemimpin perang).
Dalam sejarah Yunani Kuno, terdapat seseorang yang bernama Aksinufun(Xenophanes), yang dilahirkan enam abad sebelum masehi. Ialah orang pertama yang menanamkan kepada bangsa Yunani pemikiran tentang Tuhan yang Mahaesa, yang tidak menyerupai sesuatu apapun. Ia mengritik kaumnya lantara mereka telah menyembah dewa-dewa, seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang gemar membuat kerusakan.
Begitulah, kita dapat menyimpulkan dari sejarah bahwa manusia sesungguhnya telah beriman terhadap pemikiran tentang adanya Tuhan yang Mahaesa, ribuan tahun sebelum masehi.
Inilah, wahai Hasanah, catatan mungil dan sekelumit sejarah yang menunjukkan dengan jelas akan adanya pemikiran tentang keimanan kepada Allah SWT, yang telah lebih dulu ada dibanding semua sebab yang telah engkau sebutkan. Dan ketika aku menyebutkan sejarah-sejarah tersebut kepadamu, aku tidak bermaksud mengatakan bahwa semua itu adalah pemikiran dan keyakinan yang benar dan cemerlang. Pemikiran tersebut telah mengalami perubahan, sebagaimana yang telah engkau lihat disemua masa dan disemua tingkat perubahan pemikiran yang engkau lalui.
Pemikiran tersebut juga telah dirusak oleh pemikiran-pemikiran yang cenderung pada ha-hal yang berbau materi dimasa tersebut. Oleh karena itu, banyak sekali lita temukan bahwa pemikiran-pemikiran itu telah berbeda dengan konsep keimanan kepada Zat Yang Mahaesa dan Mahamutlak. Walaupun menunjukkan dengan jelas adanya keimanan kepada Allah SWT, namun itu sesuai dengan tingkat kematangan berpikir ketika itu.
Semoga surat ini tidak terlalu panjang bagimu. Mudah-mudahan engkau mau membaca buku "Kitab Allah" yang ditulis oleh Aqqad, agar pengetahuanmu lebih bertambah ketimbang apa yang telah kusebutkan, serta menambah keyakinanmu daripada apa yang telah kutulis. Allah SWT berada dibelakang maksud ini, dan semoga semua kebaikan dilimpahkan kepadamu...
Musthafa
Selesai membaca surat itu, Rihab tak dapat tidur. Ia begadang memikirkan tulisan Musthafa tersebut; berusaha membandingkan isi surat itu dengan apa yang diketahuinya, guna menemukan mana diantara keduanya yang lebih kuat, yang sesuai dengan kaidah-kaidah yang benar, serta keyakinan-keyaikinan yang paling dalam. Sayang, usahanya itu tak membuahkan hasil. Ia pun mulai menjadi keras kepala dan egois. Itulah yang selalu menguasainya selama ini.
Pagi-pagi benar, sebelum bertemu Hasanah, ia menulis surat balasan. Ia khawatir bila bertemu dengannya, maka rasa iba akan mempengaruhi tulisannya. Terlebih, ia melihat akhir-akhir ini Hasanah lebih sering berdiam diri, tidak ceria, dan terkadang nampak pucat. Ia tahu betul, penyebabnya adlah lantaran Musthafa, yang hingga kini, menurut perkiraan Hasnaah, belum mengirimkan sepucuk suratpun untuknya. Adakalanya, Rihab merasa kasihan padanya dan kadang pula ia merasa menderita bila rasa sesal menghantuinya. Oleh karena itu, ia bergegas menjawab surat Musthafa itu sebelum ia keluar melewati kamar Hasanah. Dihari yang sama, ia segera mengeposkan suratnya:
Musthafa yang terhormat
Aku heran sat kulihat engkau sangat terpukul lantaran keterbukaankudisurat pertamaku itu. Sebenarnya, yang aku tunggu darimu adalah kata-kata yang lembut dan halus, seperti disuratmu terdahulu. Akan tetapi, dibalik ketegasan pemikiranmu, engkau telah meninggalkan sisi kasih sayangmu.Mungkin, engkau melihatku tak layak mendapatkannya. Karena itu, akupun mengabaikannya.
Bagaimana, jawabanmu yang mendahulukan iman kepada Allah SWT itu baik dan bukti-bukti sejarah yang engkau tuliskan cukupjelas. Namun, aku tetap beranggapan bahwa iman kapada Allah tak lain hanyalah batu lompatan bagi orang-orang lemah, manakala mereka merasa lemah dihadapan orang-orang kuat. Orang lemah itu, tatakala menganggap dirinya lemah dlam menjaga diri dan mencegah bahaya, mulai mencari sumber kekuatan khayali yang dapat melindungi dan menjaganya dari bahaya. Dari sinilah muncul pemikiran tentang keimanan kepada Allah. Selanjutnya pemikiran tentang agama.
Inilah yang aku yakini, wahai Musthafa. Tatkala kita bukan orang-orang lemah, atau ketika kita mampu mencegah bahaya dari diri kita dengan berbagai macam bentukperlindungan yang sekarang telah banyak ditemukan, maka kita tidak perlu demikian(beragama). Untuk apa kita kembali menghubungkan diri kita dengan sesuatu yang tidak kita ketahui hanya untuk memperoleh kekuatan darinya yang sebenarnya tidak sulit bagi kita dimasa seperti sekarang ini? Benar, untuk apa? Semoga engkau dapat menjawabnya, jika mungkin. Sekian dulu suratku, salamku untukmu. Aku tunggu jawabanmu.

Tidak ada komentar: