Rabu, 28 November 2007

Satu Pria Dua Wanita (4)

Surat itu telah diterima Musthafa. Sebuah surat yang ditunggu-tunggu untuk dapat menentukan sikap terhadap istrinya itu, dari tulisannya dan dari tanya jawab sebelumnya. Jika saja ia sama sekali tidak menemukan perubahan pada dirinya, maka gugurlah kewajiban syariat terhadapnya, karena usaha itu ternyata sia-sia. Akan tetapi, bila ia melihat adanya sedikit peningkatan dalam tanya jawab itu, maka kewajiban syariat terhadapnya akan terus berlanjut. Hasanah laksana seseorang yang hilang dan tidak seperti seorang isteri.
Musthafa tak habis pikir, membayangkannya sebagai seorang istri dan pendamping hidupnya, lantaran penyimpangannya yang jauh. Namun, tatkala Musthafa melihat Hasanah ternyata menerima apa yang telah ia tulis dan mau membaca buku yang ia anjurkan serta mengajukan pertanyaan baru, maka Musthafa melihat bahwa ia harus menulis kembali sebuah surat untuknya. Karena itu, ia pun menulis:
Denag nama Allah yang Mahakasih dan Mahasayang
Kepada Hasanah
Assalamu`alaikum wr.wb
Segala puji bagi Allah yang telah menyebabkanku dapat menulis surat ini dengan jiwa dan semangat baru. Aku benar-benar gembira menerima suratmu itu dan aku menyambut hangat pertanyaan yang telah kau ajukan kepadaku. Sebab, itu menunjukkan bahwa engkau memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Namun, kali ini aku akan menjawab dengan singkat. Bahkan itu sebenarnya bukan merupakan jawaban, melainkan beberapa pertanyaan yang sangat kuharapkan engkau bersedia menjawabnya:
1. Apa yang membedakan manusia dengan hewan, pada sisi pengetahuan, padahal keduanya sama dalam hal aktivitas-aktivitas inderawi?
2. Apakah engkau meyakini keberadaan dan ketiadaan?
3. Apakah engkau pernah mengatakan sesuatu yang tidak masuk akal?
Inilah pertanyaan-pertanyaan singkat dariku. Sekali lagi, aku berharap agar engkau menjawabnya. Terima kasih sebelumnya...
Musthafa
Surat Musthafa telah Rihab baca. Ia ingin sekali menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam surat itu. Lama termangu, menatap surat itu, namun ia belum juga mampu menjawabnya. Ia pun menoleh kearah Hasanah yang berada dikamarnya. Dalam keadaan bingung melebihi keadaan sebelumnya, ia menghampirinya. Lantaran semakin sadar akan keberadaan Allah SWT, maka semakin besar pula penyesalannya terhadap Hasanah. Sementara, ia takkan dapat menjawab pertanyaan itu kecuali dengan bantuan Hasanah. Oleh karena itu, ia tetap merahasiakan apa yang diperbuat terhadap kakaknya itu...
Kedatangannya disambut Hasanah, yang akhir-akhir ini agak membuka diri terhadapnya dan mulai dekat kepadanya, setelah Hasanah melihatnya mulai mengisi waktu dengan mempelajari buku-buku agama. Rihab terduduk. Ia tak tahu nama tertentu dari buku yang dicarinya. Karena itu, ia akan minta kepada Hasanah untuk membimbingnya menemukan buku yang diperlukan. Lantaran tak tahu dari mana harus memulai pembicaraan, ia duduk termangu.
Lagi-lagi, Hasanah yang mengawali pembicaraan, "Mudah-mudahan engkau telah membaca dua buku yang kau pinjam sebelumnya..." Rihab menjawab singkat, "Sudah." Hasanah kembali berkata, "Apa engkau suka membaca buku-buku itu?" Rihab menjawab singkat lagi, "Suka!"
Ketika itu, Hasanah merasa bahwa adiknya sedang menyembunyikan sesuatu dengan cara berdiam diri. Dari sikap itu, Hasanah kemudian dapat membaca bahwa Rihab memerlukan sesuatu darinya. Tak ragu lagi, yang diperlukan tak lain adalah buku. Sebab, ia tahu, tak ada yang diperlukan Rihab kecuali buku. Maka, lantaran didorong hubungan persaudaraan dan tanggung jawab keagamaan, ia mengajak Rihab berbicara dan tak mempedulikan sikap adiknya itu selama ini.
Hasanah mulai melontarkan kata-kata dengan lemah-lembut, "Semua buku-bukuku ada disana. Engkau bebas memilih mana yang ingin kau baca, kapanpun kau suka, meskipun bila aku tidak dirumah. Sekarang, apakah engkau memerlukan buku, wahai adikku?" Rihab menjawab ragu-ragu, "Ya, aku perlu, tapi aku tak tahu apa yang kuperlukan."
Hasanah tak menampakkan rasa herannya, bahkan ia langsung berkata dengan lemah-lembut dan tenang; "Buku sejarahkah? Buku ilmu pengetahuan? Buku akhlak? Atau buku tentang keimanan kepada Allah SWT? Bilang saja, jenis buku apa yang kau inginkan." Rihab menjawab, "Aku ingin buku mengenai keimanan kepada Allah." Betapa senang Hasanah mendengar pilihan adiknya itu. Ia segera mengambilkan sebuah buku berjudul al-Iman wa al-`Aqlu(Iman dan akal) dan sebuah buku lagi berjudul al-Iman wa al-akhirah(Iman dan akhirat) yang ditulis oleh Muhammad jawad Mughniyah. Hasanah juga memberikan buku ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan pembahasan keimanan. Rihab kemudian mengambil buku-buku itu dan kembali ke kamarnya.
Disana, sambil terlentang ditempat tidur, ia memikirkan kata-kata Hasanah nan lembut. Juga, sikap halus yang ditunjukkan kepadanya akhir-akhir ini serta bantuan-bantuan yang diberikan dalam merapikan kamar, menjahit pakaiandan meminjamkan buku-buku kepadanya.
Setelah itu, Rihab tak dapat berkata apa-apa selain, "Betapa jahatnya diriku ini..." Lebih jauh, ia berkata pada dirinya sendiri, "Mengapa engkau tidak sudahi saja permainan berbahaya ini? Kenapa engkau tak berhenti mengganggu kehidupan perempuan sangat kau kasihi itu?"
"Akan tetapi, tidak! Aku takkan berhenti sebelum berhasil menyelesaikan permainan ini. Sebab, saat ini aku sangat memerlukan penjelasan Musthafa atas persepsi-persepsi yang belum jelas itu. Andai saja itu terjadi dan aku menceritakan kenyataan yang sesungguhnya, maka setelah itu aku pasti akan lebih dihina dan diperlakukan tidak baik oleh Musthafa dan yang lain...Tidak! Aku tak mungkin berhenti."
Selang beberapa hari, ia kembali menulis surat untuk Musthafa:
Yang terhormat Musthafa
Sebelum aku menjawab pertanyaanmu itu, aku ingin tahu, apa sebenarnya yang engkau inginkan dibalik tiga pertanyaan itu. Karenanya, aku berusaha dan berusaha lagi serta pergi mencari buku-bukuu yang membahas tentang wujud Allah SWT, sambil berharap agar dapat membimbingku menemukan tujuan yang tersembunyi dibalik semua pertanyaan itu.
Aku tak ingin, dihadapanmu, seperti seorang murid kecil yang pikirannya selalu dicekoki secara serta-merta oleh gurunya. Dan telah kau paksa aku untuk membaca banyak buku, selain buku tentang keimanan yang telah selesai kubaca sebelum aku menerima pertanyaan-pertanyaanmu. Aku tak ingin merahasiakan padamu bahwa ketika aku mulai membaca, keinginan kerasku hanya tertuju pada satu titik, yaitu memahami apa yang engkau inginkan, sebelum engkau menjelaskannya.
Biasanya, lantaran isi buku-buku itu dan karena aku terlalu banyak membaca, pikiranku menjadi dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan. Itu membuatku hanyut membaca, dengan keinginan agar aku benar-benar memahaminya. Sayang sekali, aku tak tahu bagaimana aku dapat terbebas dari semua pertanyaan yang jawabannya kuinginkan itu. Karenanya, aku merasa harus mendengar jawabanmu setelah kutuliskan jawabanku dibawah ini:
Pertama: Berkenaan dengan perbedaan antara manusia dan hewan, padahal keduanya memiliki kemampuan inderawi yang sama, maka sesungguhnya manusia itu mampu berpikir secara mandiri dan ini berbeda dengan hewan.
Kedua: Adapun yang berhubungan dengan keberadaan dan ketiadaan, itu tak diperselisihkan lagi. Sebab, sesungguhnya semua akal dapat mengetahui keberadaan dan ketiadaan.
Ketiga: Adapun masalah hal yang mustahil, itu adalah masalah yang sudah jelas dan sangat jelas dalam berbagai keadaan. Sebab, mustahil bagi kita memasukkan seekor unta kedalam lubang jarum.
Inilah jawaban-jawaban atas beberapa pertanyaanmu. Sekarang, apa jawabanmu?
Aku mengharapkan semua kebaikan dan mohon maaf.
Hasanah
Surat Rihab telah sampai kepada Musthafa. Setelah menerimanya, terlintas dibenak Musthafa keinginan untuk merobek surat itu sebelum membacanya. Layakkah perempuan yang ia selalu rajutkan mimpi-mimpi dengan benang emas dan perak untuknya mejadi pendamping hidupnya? Cobaan pahit macam apakah yang telah ditelankan Zainab kepadanya? Bagaimana mungkin ia dapat hidup dengan seorang perempuan yang meragukan kesucian bukti-bukti dan pemahaman yang mendasar?
Namun, ia kembali pada keputusan semula, seraya berkata, "Tidak, aku harus menyelesaikan langkahku yang pertama hingga nafas penghabisan, apalagi ketika sikapku ini sudah nampak membuahkan hasil."
Musthafa kemudian membuka surat itu dan mulai membacanya dengan teliti. Ia mencari kalimat-kalimat yang wajar, yang biasa ditulis kebanyakan manusia, baris demi baris. Ditemukanlah secercah harpan yang membuatnya gembira. Musthafa bersyukur kepada Allah SWT dan ia berulang kali berucap, "Semoga masalah ini cepat selesai." Lalu, ia menulis balasannya:
Yang terhormat Hasanah
Seribu salam dan penghormatanku untukmu
Suratmu telah kuterima. Aku gembira mendengar engkau telah membaca buku-buku yang kuanjurkan. Apapun tujuannya, yang terpenting adalah bahwa pemahaman merupakan keuntungan yang telah kau peroleh darilembaran-lembaran buku-buku itu. Oleh karenanya, engkau dapat menyaksikan betapa banyak dan berharganya harta karun ini, yang selalu berada didekatmu, sementara engkau tidak merasakan kedekatannya. Aku ingin tahu, dari mana engkau peroleh buku-buku itu?
Berkenaan dengan tiga pertanyaan yang kuajukan, maka tatkala engkau menyadari bahwa panca indera bukan merupakan segalanya dalam memperoleh pengetahuan, maka dari sini kita tahu bahwa panca indera tidak lain hanyalah salah satu perantara untuk memudahkan manusia dalam memperoleh pengetahuan yang tidak tersentuh oleh akal.Melalui panca indera tersebut, manusia akan sampai pada sebuah hakikat.
Oleh karena itu, kita temukan bahwa ada berbagai hakikat yang tidak diragukan dan tidak diperdebatkan lagi keberadaannya, padahal ia tak dapat disentuh oleh panca indera. Contoh saja, apa yang kau yakini tentang keberadaan dan ketiadaan.
Pernahkah engkau melihat ketiadaan dengan kedua matamu? Atau, pernahkah engkau merasakannya dengandengan lidahmu? Menyentuh dengan tanganmu? Atau, kau cium aromanya dengan indera penciumanmu? Atau, pernahkah engkau mendengar suaranya? Apakah ini pernah terjadi pada dirimu atau pada selainmu? Mungkinkah ini terjadi?
Jelas tidak mungkin! Sebab, ketiadaan tak dapat diraba, dilihat, didengar, dicium ataupun dirasakan dengan lidah. Padahal, aku, engkau, dan semua orang yang berakal meyakini tentang keberadaan dan ketiadaan. Bagaimana ini bisa terjadi?
Termasuk hal yang mustahil adalah ketika kita berkata, Pabila ketiadaan adalah hal yang tidak mungkin ada, lantas bagaimana kita dapat mengetahui bahwa itu adalah mustahil dan dengan cara apa kita membuktikan nya?"
Apkah engkau beranggapan bahwa kita dapat mengetahuinya dengan panca indera? Apakah kita pernah melihat, meraba, mencium atau merasakannya? Jelas, itu tak mungkin terjadi dan disaat yang sama kita yakin bahwa ada sesuatu yang mustahil. Jga, kita dapat membingkai sesuatu itu, sebagaimana yang engkau contohkan, yaitu memasukkan unta kedalam lubang jarum....
Bagaiman ini bisa terjadi? Apakah panca indera kit memiliki andil? Tentu jawabnya adalah tidak! Sebab, panca indera tak mungkin menyentuh sesuatu yang tidak ada, padahal, disaat yang sama, kita mempercayai sesuatu yang mustahil. Itulah hasil aktivitas mental dan yang membedakan antara manusia dan hewan....
Ada hakikat lain yang tak dapat dijangkau oleh panca indera kita, yaitu bahwasanya air tersusun dari dua unsur kimia: hidrogen dan oksigen. Inilah kenyataan yang tekah diperkuat oleh ilmu pengetahuan dengan hanya membawakan bukti yang logis saja, tanpa dapat dibuktikan oleh indera...
Kemudian, marilah sama-sama kita dengarkan ucapan seorang profesordalam bukunya, "Hakikat-hakikat yang kita ketahui secara langsung dinamakan dengan hakikat-hakikat yang dapat disentuh. Hanya saja, hakikat-hakikat yang kita ketahui, tidak terbatas pada hakikat itu saja. Sebab, banyak hakikat lain, selain hakikat itu, yang tidak kita ketahui secara langsung, tetapi kita dapat meyakini dan memastikan keberadaannya dengan cara penarikan kesimpulan. Hakikat-hakikat itu dinamakan dengan hakikat-hakikat melalui penarikan kesimpulan
. Yang terpenting adalah kita memahami bahwa tidak ada perbedaan antara kedua hakikat tersebut. Yang membedakan hanyalah dalam penamaannya dan cara mendapatkan kenyataan-kenyataan itu; yang pertama secara langsung dan yang kedua melalui perantara. Sesungguhnya, hakikat atau kenyataan itu selamanya adalah hakikat atau kenyataan itu sendiri. Baik lita ketahui secara langsung ataupun melalui penarikan kesimpulan."
Kemudian, profesor ini menambahkan, "Sesungguhnya hakikat-hakikat alam yang tak dapat disentuh panca indera tidak sedikit jumlahnya, lantas bagaimana mungkin kita mengetahui sesuatu yang banyak lainnya itu? Disini, ada perantaranya, yaitu penarikan kesimpulan,. Ini merupakan langkah berpikir yang kita gunakan dalam menyingkap sebuah pengetahuan, sehingga kita dapat memastikan bahwa sesuatu itu ada, padahal kita benar-benar tidak menyaksikannya."
Contoh lainnya adlah hukum kausalitas(sebab-akibat) yang mungkin engkau sudah mengetahuinya. Hukum tersebut tidak dan tidak pernah dapat dirasakan keberadaannya oleh indera. Sebagaimana, tersirat dalam ucpan Newton ketika menyingkap keberadaan hukum kausalitas tersebut, "Adalah suatu hal yang tak dapat dimengerti pabila kita menemukan sebuah benda materi yang tidak hidup dan tidak dapat merasakan, namun ia dapat memberikan pengaruh pada benda materi lainnya, padahal diantara keduanya tak ada hubungan apapun."
Melalui metode inilah, wahai Hasanah, yaitu metode aktivitas mental serta bukti-bukti aqli(akal) dan naqli(ayat atau hadis), maka kita meyakini keberadaan sang Pencipta dan kemudian, setelahnya, meyakini keberadaan agama yang harus kita anut.
Aku terlalu panjang menulis surat ini, sehingga mungkin membebanimu. Namun, aku selalu siap untuk menambahnya, jika engkau ingin.
Musthafa

Tidak ada komentar: